Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Dilema Strategi Anggaran Jokowi

Kompas.com - 24/05/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Presiden Jokowi kecewa betul dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya 4,92 persen pada triwulan I 2016.

Saking kecewanya, ia menuding para menteri tak mengerjakan apa yang diinstruksikannya, terutama soal penyerapan anggaran pembangunan.

Tak hanya Jokowi, semua tentu galau dengan laju pertumbuhan 3 bulan pertama tahun 2016.

Sebab, angka tersebut berada di bawah konsensus pasar yang memperkirakan pertumbuhan akan mencapai 5,1 persen.

Juga lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya yang sebesar 5,04 persen.

Produk domestik bruto (PDB) atau output aktivitas ekonomi Indonesia selama triwulan I 2016, seperti dilansir dari data BPS, hanya sebesar Rp 2.947 triliun, tak jauh berbeda dengan PDB triwulan IV 2015 yang sebesar Rp 2.945 triliun, bahkan lebih rendah dibandingan triwulan III 2015 yang sebesar Rp 2.998 triliun.

Artinya, selama triwulan I 2016, hampir tidak ada kemajuan aktivitas ekonomi dibandingkan triwulan sebelumnya.

Padahal, selama kurun waktu tersebut, Jokowi telah berkeliling ke banyak daerah untuk meresmikan proyek-proyek infrastruktur.

Pemerintahan Jokowi juga terus mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang kini telah mencapai jilid ke-12.

Tujuan paket-paket kebijakan itu adalah mendorong investasi, memperbaiki daya saing, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Jokowi dalam setiap kesempatan berpidato di depan umum, terus menyerukan pentingnya deregulasi untuk menghapus ribuan aturan yang selama ini menghambat investasi.

Proses perizinan juga harus disederhanakan dan dipermudah. Tidak lagi berbilang hari, melainkan dalam hitungan jam, izin investasi atau usaha sudah harus keluar.

Terlebih lagi, Jokowi telah berulangkali menginstruksikan kepada para menterinya untuk melakukan lelang pengadaan barang dan jasa lebih awal sehingga pada awal-awal tahun diharapkan aktivitas ekonomi sudah bisa bergulir.

Namun apa daya, PDB yang terbentuk dari belanja pemerintah selama triwulan I 2016 hanya sebesar Rp 200,31 triliun.

Nilai tersebut memang lebih besar dibandingkan PDB belanja pemerintah pada triwulan I 2015 yang senilai Rp 180,35 triliun.

Akan tetapi, peningkatannya tidak terlampau signifikan untuk mendorong dan mestimulus perekonomian.

Di sisi lain, pendorong ekonomi lainnya yakni investasi dan ekspor, masih tergolong lemah. PDB dari investasi dan ekspor pada triwulan I 2016 lebih rendah dibandingkan triwulan IV 2015.

PDB konsumsi masyarakat memang meningkat. Namun peningkatannya tidak signifikan karena lebih didorong oleh pertumbuhan penduduk, bukan oleh menguatnya daya beli.

M Fajar Marta Perkembangan pertumbuhan ekonomi Indonesia
 

Penerimaan seret

Secara riil, tahun ini, pemerintah sebenarnya lebih agresif dalam berbelanja.

Hingga akhir April 2016, mengutip data Kementerian Keuangan, total belanja negara sudah mencapai Rp 586,8 triliun atau 28 persen dari target belanja dalam APBN 2016 sebesar Rp 2.095,7 triliun.

Dalam periode yang sama tahun 2015, belanja baru sebesar 25 persen dari target APBN.

Bahkan pada 2014, saat Presiden SBY masih berkuasa, total belanja pemerintah pada periode yang sama hanya 23 persen dari target APBN.

Artinya, upaya keinginan Jokowi untuk mempercepat penyerapan anggaran di awal tahun sebenarnya sudah berjalan.

Sayangnya, Indonesia bukan negara kaya yang simpanannya berlimpah.

Seperti sebagian besar warganya, keinginan pemerintah untuk berbelanja harus kepentok oleh ketersediaan uang yang ada di saku.

Sialnya lagi, pendapatan negara tahun ini justru melempem.

Pendapatan negara hingga akhir April 2016 hanya sebesar Rp 419.2 triliun, atau 23 persen dari target pendapatan negara dalam APBN 2016 sebesar Rp 1.822,5 triliun.

Pencapaian ini lebih rendah dibandingkan akhir April 2015 yang sebesar 25,1 persen.

Jadi, gelora belanja pemerintah tahun ini tidak diimbangi oleh pendapatan yang sepadan. Rendahnya pendapatan negara dipicu oleh lemahnya penerimaan pajak.

Dampak pajak sangat terasa sebab porsinya mencapai 75 persen dari total pendapatan negara.

Hingga akhir April 2016, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 272 triliun atau hanya 20 persen dari target senilai Rp 1.360 triliun.

Bahkan, pencapaian itu masih lebih rendah dibandingkan realisasi pajak hingga akhir april 2015 yang sebesar Rp 307 triliun.

Rendahnya penerimaan pajak tidak terlepas dari lesunya perekonomian.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com