Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hasanudin Abdurakhman
Doktor Fisika Terapan

Doktor di bidang fisika terapan dari Tohoku University, Jepang. Pernah bekerja sebagai peneliti di dua universitas di Jepang, kini bekerja sebagai General Manager for Business Development di sebuah perusahaan Jepang di Jakarta.

Sensing the Problem

Kompas.com - 18/06/2016, 09:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
Di perbagai perusahaan banyak diberikan training dengan subjek memecahkan masalah, atau problem solving.
 
Namun bagi saya ada satu soal yang harus dibereskan dulu, satu langkah sebelum kita bicara soal problem solving, yaitu mendeteksi atau menemukan masalahnya. Ini mungkin terdengar mengada-ada, tapi ini soal yang nyata.
 
Ada banyak perusahaan atau organisasi di mana masalah-masalah menumpuk tidak terselesaikan, bukan karena mereka tidak mampu menyelesaikan.
 
Masalah-masalah itu tidak disadari adanya, atau tidak dianggap sebagai masalah. Kalau begitu adanya tentu tak mungkin akan diselesaikan, bukan?
 
Di berbagai perusahaan atau organisasi itu hadir sejumlah orang bebal. Apa itu bebal? Yaitu orang yang sensitivitasnya dalam mendeteksi masalah sangat rendah. Bahkan terhadap masalah yang ada di depan mata mereka sendiri saja pun mereka tidak bisa merasakannya.
 
Dalam banyak kasus, yang terjadi sebenarnya adalah mereka tidak menganggapnya sebagai masalah, alias cuek.
 
Ada beberapa contoh kecil. Seseorang masuk WC dan menemukan keran di westafel dalam keadaan terbuka dan mengalirkan air. Orang bebal melihat itu, tapi tidak menutupnya.
 
Demikian pula halnya dengan lampu atau AC di ruangan, yang menyala padahal tak ada orang di situ. Kita terbiasa membiarkannya begitu saja. Kita bebal.
 
Dalam konteks yang lebih besar kebebalan banyak terjadi, kemudian menimbulkan masalah sampai di tingkat nasional. Sedihnya, masalah itu sering dianggap sebagai masalah kodrati yang tidak bisa dicarikan solusinya.
 
Soal tepat waktu, lagi-lagi saya harus bahas ini, bermula dari soal individu yang menganggap bahwa terlambat itu boleh ditoleransi. Baik terlambat datang ke tempat kerja, terlambat memulai acara yang sudah disepakati, terlambat dalam menyelesaikan pekerjaan, hingga terlambat dalam mengirim barang/jasa yang merupakan produk perusahaan.
 
Soal tidak tepat waktu ini melanda hampir semua perusahaan kita, khususnya perusahaan jasa.
 
Keterlambatan penerbangan menjadi sesuatu yang akhirnya kita anggap bisa, dan tidak mungkin diselesaikan. Sumber utamanya adalah individu yang menganggap keterlambatan bukan masalah.
 
Begitulah. Ada banyak lagi masalah yang membuat perusahaan tidak efisien, bahkan merugi, karena masalah yang ada tidak dianggap atau dirasakan sebagai masalah.
 
Karena itu bagi saya penting untuk meningkatkan sensitivitas karyawan terhadap masalah di sekitar mereka.
 
Bagaimana caranya? Beberapa hal bisa dilakukan. Pendekatannya bisa individual, juga kolektif. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan disiplin individual.
 
Bagaimanapun juga, sensitivitas setiap individu terhadap persoalan sangat penting. Kemampuan mengendus adanya masalah berawal dari sensitivitas pribadi terhadap masalah.
 
Orang yang tidak disiplin biasanya adalah orang-orang yang cuek terhadap apapun yang terjadi di sekitar mereka.
 
Biasakan membuat rekaman atas masalah yang teridentifikasi, meliputi apa masalahnya, akar penyebabnya, kemudian tindakan-tindakan yang diambil untuk mengatasinya.
 
Publikasikan catatan ini secara terbuka, mudah dipahami, dan dijangkau semua orang. Dengan cara ini kewaspadaan (awareness) terhadap masalah bisa terus dijaga.
 
Perusahaan tempat saya bekerja sangat peduli terhadap soal keselamatan kerja. Kami menjaga iklim nol kecelakaan kerja, dan mempertahankannya selama bertahun-tahun.
 
Setiap ada kejadian kecelakaan, sekecil apapun, dicatat, kemudian dianalisa. Hasilnya disebarkan ke seluruh perusahaan kami di seluruh dunia, meliputi sekitar 250 perusahaan.
 
Dengan cara itu, masalah di tempat lain pun bisa membantu kita untuk meningkatkan sensitivitas terhadap masalah di sekitar kita.
 
Level tertinggi dari proses ini adalah membiasakan untuk mendeteksi potensi masalah. Masalah bisa kita ramalkan akan terjadi, sehingga bisa dilakukan antisipasi untuk mencegahnya.
 
Dari berbagai catatan kejadian, baik di internal perusahaan, perusahaan satu grup, bahkan perusahaan luar, semua bisa dijadikan referensi untuk mencegah timbulnya masalah.
 
Sering kali pelatihan dengan materi problem solving seperti menerpa ruang hampa. Sebabnya yang dilatih adalah orang-orang yang masih bebal, tidak bisa mendeteksi adanya masalah.
 
Kalau bagi mereka tidak ada masalah, bagaimana mereka bisa berpikir mencari jalan untuk menyelesaikannya?
 
Karena itu bagi saya penting untuk terlebih dahulu membangun sensitivitas terhadap adanya masalah.
 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com