Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Inco Harper
Dosen Universitas Multimedia Nusantara

Dosen & Koordinator Konsentrasi Public Relations Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Pernah menjadi praktisi periklanan. Pencinta audiophile dan film-film hi-definition.

Studi Kasus "Bikini" dan "Jessica Coffeemix", Ketika Merek Bukan Lagi Sekadar Nama

Kompas.com - 30/08/2016, 15:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

“What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.”

(William Shakespeare)

KETIKA Shakespere menuliskannya dalam kisah Romeo and Juliet pasti belum ada persaingan antara merek. Belum ada sebuah pasar swalayan yang mana shelf-nya penuh dengan deretan merek-merek dalam kategori produk yang sama.

Nama merek, bertujuan untuk membuat perbedaan dengan kompetitor dalam kategori produk sejenis. Nama merek, bagaimanapun juga bertujuan untuk memengaruhi calon pembeli untuk mencoba.

Oleh karena itu, nama merek akan membentuk citra merek itu sendiri. Nama merek menjadi identitas dan pintu gerbang yang menggambarkan ekuitas merek tersebut.

Belum lepas kontroversi merek makanan ringan Bikini atau Bihun Kekinian yang membuat heboh dunia maya sehingga membuat BPOM turun tangan, kini muncul lagi sebuah produk kopi dengan nama “Jessica Coffeemix”, lengkap dengan foto Jessica Kumala Wongso.

Jessica sendiri menjadi terkenal sejak munculnya kasus “kopi sianida” yang menewaskan Wayan Mirna Salihin.

Saya tidak akan membahas kontroversi packaging Bikini dan juga kasus hukum Jessica, namun menarik untuk kita diskusikan apakah membuat sebuah nama merek cukup dengan membuat sebuah kehebohan belaka?

Apakah nama merek itu penting dalam sebuah proses branding? Atau seperti kata Shakespeare, “Apalah arti sebuah nama?”

Nama adalah sebuah doa

Saya lebih setuju dengan pernyataan bahwa nama adalah sebuah doa. Persis seperti dengan nama manusia, nama merek harusnya merupakan doa dan harapan si pembuat merek akan seperti apa merek tersebut nantinya.

Jadi proses penamaan sebuah merek tentunya menjadi bagian penting dalam sebuah proses branding. Masalahnya kemudian, nama merek harus nyambung dengan identitas dan kualitas merek nantinya.

Nursita Sari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) merilis makanan "Bikini" yang dinyatakan sebagai produk ilegal di Kantor BPOM, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat, Senin (8/8/2016).
Sebuah produk bagus tanpa penamaan yang bagus juga akan sia-sia. Lantas bagaimana menciptakan nama merek yang bagus?

Penamaan merek merupakan sebuah proses yang kompleks. Banyak proses penamaan merek yang melibatkan konsultas besar namun akhirnya gagal di lapangan.

Namun demikian, saya justru beranggapan jika direncanakan saja masih ada kemungkinan gagal, apalagi penamaan merek yang tanpa perencanaan?

Dalam proses komunikasi, nama merek merupakan sebuah pesan yang disampaikan dari perusahaan kepada pelanggan. Dalam proses penerimaan pesan, tentunya telah dilakukan proses segmentasi dan targeting untuk mengerucutkan khalayak target yang ingin dituju oleh perusahaan.

Penamaan merek harus juga dilihat dari perspektif komunikasi antarbudaya, sehingga tidak terjadi keanehan atau penolakan dalam penyebutan nama merek tersebut.

Namun demikian, di Indonesia sering terjadi kasus-kasus unik bagaimana publik kesulitan mengucapkan nama merek tertentu, terutama dalam bahasa Inggris.

Sebagai contoh, merek minuman Mizone sering dilafalkan menjadi Mijon dan merek rokok A-Mild (dibaca "email") dilafalkan menjadi "amil". Belum lagi beberapa merek luar negeri yang sulit pelafalannya seperti Scotch-Brite yang sering dilafalkan menjadi Skotbrit.

Kasus sulitnya pelafalan tidak hanya terjadi di Indonesia. Music and video player keluaran Microsoft – Zune – menjadi tidak populer di kalangan Yahudi karena dianggap vulgar dalam bahasa Ibrani.

Serupa dengan hal tersebut, produk home-kitchen dengan nama Silit dan komputer tablet keluaran Dell yang dinamakan Dell Peju menjadi bahan tertawaan untuk publik Indonesia. Untuk para perokok juga tentu telah akrab dengan sebuah merek pemantik api, Tokai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com