Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Jokowi, Sri Mulyani, dan Ikat Pinggang

Kompas.com - 05/09/2016, 06:13 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

Presiden Jokowi sejak awal memerintah selalu mengatakan, pengalihan anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) Premium untuk pembangunan proyek-proyek infrastruktur memang menyakitkan.

Namun, Jokowi meyakinkan seluruh rakyat Indonesia, putusan ini akan berbuah manis dalam beberapa tahun ke depan.

“Awalnya memang sakit, tetapi ini harus dilakukan agar perekonomian kita bisa tumbuh lebih cepat ke depan,” begitu kerap kali dikatakan Presiden Jokowi.

Namun, dalam perkembangannya, ternyata bukan pencabutan subsidi Premium itu yang membuat sakit. Sebab, seiring anjloknya harga minyak di pasaran dunia, harga Premium di Indonesia juga turun drastis sehingga pada akhirnya tidak terlalu memengaruhi daya beli masyarakat.

Sumber “sakit” itu kini datang dari pos yang lain, yakni dari pemotongan dana anggaran pemerintah pusat dan transfer ke daerah, termasuk dana desa. Pemangkasan anggaran ini dipastikan bakal memengaruhi daya beli masyarakat.

Awalnya, strategi pemerintahan Jokowi adalah hanya menggunakan dana pengalihan subsidi Premium untuk membangun proyek infrastruktur secara ambisius.

Dari proyeksi pengalihan anggaran itulah, pemerintahan Jokowi menaikkan anggaran infrastruktur secara drastis mencapai Rp 291 triliun pada 2015 dan dinaikkan lagi menjadi Rp 313 triliun pada 2016.

Seiring dengan itu, berbagai proyek infrastruktur pun dicanangkan, mulai dari waduk hingga pembangkit listrik, mulai dari jalan tol hingga pelabuhan dan bandara.

Namun, gara-gara harga minyak anjlok, pendapatan negara dari minyak juga anjlok sehingga “dana pengalihan” itu tidak benar-benar ada wujudnya.

Proyek infrastruktur adalah pertaruhan Jokowi, pembeda Jokowi dengan presiden-presiden sebelumnya.

Apa pun yang terjadi, proyek infrastruktur yang telah dicanangkan sejak semula harus jalan terus dan tidak boleh dipangkas anggarannya.

Orang boleh bilang, soal pengelolaan keuangan negara, Menteri Keuangan Sri Mulyani tidak akan begitu saja membeo dengan apa yang diinginkan Jokowi. Dengan ketegasan dan kepercayadiriannya, Ani, begitu Sri Mulyani biasa dipanggil, dinilai akan berani berkata “tidak” kepada Presiden jika memang diyakininya, anggaran negara tidak lagi realistis dan kredibel.

Namun, faktanya, Sri Mulyani tidak sedikit pun memangkas anggaran infrastruktur meskipun sebenarnya tidak ada dana untuk membangun infrastruktur secara ambisius mengingat “dana pengalihan” itu memang tidak ada.

Kemenkeu/M Fajar Marta Perbandingan Anggaran Infrastruktur Era Jokowi (2015 - 2016) dan SBY (2010 - 2014)

Untuk menyelamatkan anggaran infrastruktur, pemerintah justru memangkas pos-pos lain yang totalnya mencapai Rp 137,61 triliun.

Untuk pemangkasan anggaran pemerintah pusat, Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2016 tentang langkah-langkah penghematan belanja kementerian/lembaga dalam rangka pelaksanaan APBN Perubahan tahun 2016.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com