Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Minyak Bikin Presiden Duterte Pusing, Kenapa?

Kompas.com - 18/10/2016, 10:48 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

MANILA, KOMPAS.com – Sudah bukan berita baru bahwa Arab Saudi tumbuh menjadi negara kaya raya karena minyak. Karena minyak pula, Arab Saudi bisa memanjakan rakyatnya dengan berbagai subsidi yang masif hingga pembangunan beragam proyek infrastruktur yang mengagumkan.

Bukan hal mengherankan, pasalnya ketika itu ekonomi dunia sedang berada di puncak dan harga minyak menjulang hingga 140 dollar AS per barrel. Pekerja dari berbagai negara pun menjadikan Arab Saudi sebagai “ladang emas” untuk memperoleh penghasilan yang lebih tinggi, termasuk bagi para pekerja migran asal Filipina.

Namun, dalam dua tahun belakangan, harga minyak anjlok hingga mencapai kurang dari 30 dollar AS per barrel. Arab Saudi terpukul keras, yang akhirnya memaksa pemerintah memangkas subsidi dan anggaran yang menjadi defisit.

“Saya tak pernah membayangkan Arab Saudi akan jatuh. Tidak ada lagi proyek di sana. Perusahaan di mana-mana tutup,” kata Arman Abelarde (47), mantan pekerja migran Filipina yang pulang ke negara asalnya pada September 2016 lalu.

Abelarde mengaku dirinya adalah bagian dari eksodus pekerja asing yang sudah menjadi sumber tenaga kerja di Teluk Arab selama sekira 50 tahun. Perusahaan tempat Abelarde bekerja memecat pegawai-pegawainya karena kontrak pemerintah sepi lantaran anjloknya harga minyak.

Bagi Presiden Rodrigo Duterte, masalah yang dialami Abelarde dan ribuan pekerja migran Filipina yang mengadu nasib di Arab Saudi adalah sumber baru sakit kepala. Arab Saudi adalah destinasi utama bagi pekerja migran Filipina, diikuti Uni Emirat Arab dan Qatar yang menjadi tujuan bagi ribuan pekerja migran Filipina lainnya.

Uang yang dikirim ke rumah alias remitansi oleh lebih dari 10 juta pekerja migran dan ekspatriat menyumbang 10 persen terhadap perekonomian Filipina. Lebih dari 8.000 orang pekerja migran Filipina kehilangan pekerjaannya di Arab Saudi tahun ini, menurut data Departemen Luar Negeri Filipina.

"Filipina menjadi sedikit terlalu bergantung pada pekerjaan di Timur Tengah. Sekarang kawasan itu sedang menderita, tidak bisa menyerap banyak tenaga kerja seperti dulu dan outlook remitansi cukup mengkhawatirkan,’’ ujar Emilio Neri, ekonom Bank of The Philippine Islands.

Ribuan pekerja migran yang kehilangan pekerjaannya itu mengancam aliran dana yang selama ini menjadi pilar belanja rumah tangga yang dilakukan para keluarga pekerja tersebut dan sumber stabilnya cadangan devisa Filipina.

Hal serupa lainnya juga tampaknya membuat Presiden Duterte pusing, yakni melemahnya perekrutan di bidang kapal perdagangan dan pesiar. Permintaan pelaut turun 44 persen selama bulan Januari hingga Juli 2016 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Data tersebut dipublikasikan oleh bank sentral Filipina. Pelaut Filipina menyumbang seperempat dari jumlah 1,5 juta orang pelaut di seluruh dunia. Bank Dunia melaporkan bahwa prediksi remitansi ke Filipina akan meningkat 2,2 persen menjadi 29 miliar dollar AS, terendah dalam satu dekade terakhir.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com