Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riset: Ekonomi Rapuh Para Petani Kelapa Sawit

Kompas.com - 20/10/2016, 11:27 WIB
Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.COM - Peneliti The Institute for ECOSOC Rights & NHCR, Sri Palupi, mengungkapkan ekonomi para petani kelapa sawit di Indonesia sangat rapuh. Penyebabnya, yakni karena ditopang oleh utang yang disediakan dunia perbankan.

Hal ini ia sampaikan di Bengkulu dalam penyampaian hasil penelitian "Transmigrasi dan Skema Kemitraan", Rabu (19/10/2016).

Rapuhnya ekonomi kelapa sawit karena tergantung pasar global, saat harga sawit jatuh petani kelabakan karena tidak ada hasil lain selain sawit. Sementara harga jatuh utang harus tetap dibayar.

Kemudian terjadi ketidakseimbangan antar jatuhnya harga kelapa sawit dengan harga kebutuhan pangan, sementara sumber ekonominya rapuh.

Ekonomi monokultur rapuh Indonesia sudah memiliki sejarah panjang, misal dengan pertanian kakao, cengkeh, vanili dengan perkebunan skala besar (monokultur).

Ketika harga jatuh, petaninya menjadi petani miskin. Misal, daerah sentra kakao sekarang menjadi sentra persoalan gizi buruk.

"Jangan sampai terjadi dengan petani sawit karena ketergantungan global," ungkapnya.

Bentuk kerapuhan lainnya misalnya ada perjanjian perusahaan yang menentukan berapa harga sawit dari petani ditentukan perusahaan, ini salah satu bentuk rapuh.

Terhadap persoalan ini ia merekomendasikan, pemerintah harus membuat pertimbangan terhadap ekonomi sawit.

"Ini jangka pendek monokultur tidak sustainable, pemerintah harus mementingkan kepentingan jangka panjang buat cadangan ekonomi lain, misalnya menata kawasan pertanian, tidak semua dijadikan sawit. Harus ada cita-cita mau apa," kata dia.

Kritik Program Kemitraan Sri Palupi juga membeberkan hasil riset program kemitraan antara perkebunan kelapa sawit dan masyarakat selama ini menjadi modus perusahaan untuk mengambil lahan milik masyarakat baik secara legal maupun ilegal.

"Ini riset kedua terkait sawit, sebelumnya ditemukan pada akhirnya kami harus katakan kemitraaan menjadi modus untuk penambahan lahan atau pengambilalihan lahan masyarakat secara legal dan ilegal. lalu semakin lama kemitraan semakin melindungi kepentingan perusahaan dan semakin merugikan masyarakat," kata Sri Palupi.

Ia menambahkan, dalam proporsi penyerahan lahan ada 90-10, di mana masyarakat harus serahkan 10 hektar lahan lalu hanya mendapatkan satu hektar kebun sawit, sementara diketahui dua hektar perkebunan sawit saja tidak mencukupi.

"Di Kalimantan Barat sebagai contoh, masyarakat telah menyerahkan lahan namun tidak mendapatkan plasma, alasan perusahaan lahan yang diserahkan masyarakat kurang dari tujuh hektar," ujarnya.

Ia mengakui ada berbagai macam modus perusahaan yang mengakibatkan masyarakat mengalami kerugian. Skema kemitraan dinilai tidak transparan.

"Pada akhirnya tujuan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat dalam program kemitraan menjadi gagal, karena hasil tak signifikan. Akhirnya lahan itu dijual. Petani kehilangan kebun," beber dia.

Ada pula skema revitalisasi perkebunan, Lahan HGU milik koperasi sementara masyarakat serahkan lahan dan kehilangan hak, karena menjadi hak koperasi dalam wujud HGU. Saat HGU habis, masyarakat kehilangan hak.

"Kami menyimpulkan, ini dalih perusahaan dengan menggunakan tangan pemerintah untuk menggunakan tambahan lahan," tegasnya.

Hal ini ia kuatkan dengan aturan dahulu 20 persen menjadi bagian HGU wajib membangun kebun untuk masyarakat. Sekarang bukan lagi lahan HGU tapi lahan masyarakat yang disetor dalam bentuk kemitraan. Padahal 20 persen itu berasal dari HGU perusahaan.

Kompas TV Kebakaran Lahan Sawit Diduga Akibat Puntung Rokok

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com