NEW YORK, KOMPAS.com – Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS dinilai dapat menjadi pertimbangan bagi anggota Organisasi Negara-negara Produsen Minyak (OPEC) setuju untuk memangkas produksi minyak dalam pertemuan pekan depan.
Hal ini berdasarkan pada riset Bank of America Merrill Lynch. Mengutip CNBC, Jumat (25/11/2016), Arab Saudi mencoba untuk menggiring anggota-anggota OPEC untuk menyetujui pemangkasan produksi antara 4 persen hingga 4,5 persen.
Ini bertujuan untuk menyeimbangkan pasokan global dan barangkali bisa mendorong harga minyak setidaknya lebih tinggi 10 dollar AS per barrel.
Kepala riset komoditas dan derivative global Bank of America Merrill Lynch Francisco Blanch menyatakan, ada tiga cara kemenangan Trump dan dominasi Parta Republik dalam Kongres AS akan memengaruhi proyeksi OPEC.
Pertama, kebijakan Trump bisa mendorong penguatan dollar AS dan kenaikan suku bunga AS.
“Keduanya tidak terlalu bagus bagi negara-negara emerging markets, maupun terhadap permintaan minyak di negara-negara berkembang,” ujar Blanch.
Ia menuturkan, penguatan dollar AS membuat harga minyak mentah yang memang berdenominasi dollar AS menjadi lebih mahal ketika dibeli dengan mata uang lain.
Kenaikan suku bunga AS cenderung membuat investor memiliki alternatif dalam menempatkan dananya di negara-negara emerging markets.
Kedua, tujuan Trump untuk mendorong produksi energi AS bisa menimbulkan ancaman regulasi yang memperburuk kondisi kelebihan pasokan minyak mentah.
Pengeboran-pengeboran minyak di AS telah menurunkan produksi mereka lantaran menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara OPEC.
“Jadi, sekarang OPEC harus menghadapi peningkatan ancaman lebih banyaknya pasokan dari AS dengan biaya yang lebih rendah, karena dengan peraturan yang lebih longgar maka akan lebih banyak pasokan di negara ini (AS),” jelas Blanch.
Ketiga, Iran kini cenderung berkebalikan sikap dengan rivalnya, Arab Saudi. Dicabutnya sanksi internasional atas Iran memungkinkan negara itu menggenjot produksi minyak dan memperoleh pangsa pasar.
Akan tetapi, Iran tak bisa meggenjot produksi dan mengekspor banyak tanpa adanya investasi asing. Republiken yang mengontrol Gedung Putih dan Kongres memberi kecenderungan sinyal bahwa ada kemungkinan Iran akan menghadapi sanksi lagi dan ini bisa membuat investor potensial ciut.