Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Titik Keseimbangan antara Pertumbuhan dan Stabilitas Industri Keuangan

Kompas.com - 24/02/2017, 08:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAprillia Ika

Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad berkali-kali menegaskan, industri keuangan harus terus meningkatkan perannya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Artinya, industri keuangan harus lebih banyak menyediakan pembiayaan investasi untuk pembangunan.

“Industri jasa keuangan harus didorong lebih berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, peningkatan daya beli, dan pemerataan pendapatan,” kata Muliaman beberapa waktu lalu.

Bahkan, Menteri keuangan Sri Mulyani blak-blakan dengan mengatakan, peranan industri keuangan terhadap perekonomian masih minim dan jauh di bawah potensinya.

Minimnya kontribusi industri keuangan dalam perekonomian sebuah negara tentu hal yang ironis. Sebab, sebagai sumber pembiayaan, industri keuangan seharusnya menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.

Berbicara industri keuangan di Indonesia, berarti kita berbicara mengenai industri perbankan. Pasalnya, industri perbankan masih amat dominan dalam industri keuangan. Dari total aset industri keuangan sebesar Rp 8.362 triliun, sekitar 79 persennya atau Rp 6.581 triliun merupakan aset perbankan. 

Dengan kata lain, industri keuangan lainnya seperti asuransi, dana pensiun, multifinance, dan sekuritas hanya menyumbang porsi 21 persen terhadap industri keuangan di Indonesia.

Jadi bisa dibilang, rendahnya kontribusi industri keuangan terhadap perekonomian terjadi akibat tidak optimalnya peran sektor perbankan dalam membiayai pertumbuhan.

Tidak optimalnya peran perbankan dalam pembangunan merupakan masalah klasik yang telah terjadi selama puluhan tahun. Kontribusi yang rendah tersebut dapat dilihat dari beberapa sisi antara lain peran perbankan dalam pembiayaan investasi, rasio kredit terhadap produk domestik bruto (PDB), dan kontribusi sektor keuangan terhadap PDB.

Dalam 10 tahun terakhir, kontribusi kredit investasi perbankan dalam membiayai pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 5 – 12 persen.

Pada tahun 2011 misalnya, pembiayaan investasi mencapai Rp 2.117 triliun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 6,44 persen dari nominal PDB rill (harga konstan) sebesar Rp 6.864 triliun pada 2010 menjadi Rp 7.288 triliun.

Dari total pembiayaan investasi sebesar Rp 2.117 tersebut, kredit investasi perbankan hanya Rp 115,68 triliun atau hanya 5,5 persen saja. Artinya, kontribusi perbankan sangat minim.

Kontribusi yang cukup besar dalam membiayai investasi justru berasal dari sumber lain yakni belanja pemerintah, pembiayaan pasar modal, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), dan modal sendiri dari sektor swasta dan BUMN.

Rasio kredit industri perbankan Indonesia terhadap PDB juga relatif rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Pada tahun 2015, rasio kredit terhadap PDB Indonesia sebesar 47 persen. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan Singapura yang sebesar 121 persen, Malaysia 145 persen, dan Thailand yang 173,5 persen.

Adapun kontribusi industri keuangan terhadap PDB pada 2016 hanya sekitar 4,2 persen. Angka tersebut masih tergolong minim dibandingkan aset perbankan yang mencapai Rp 6.581 triliun.

Keseimbangan

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com