Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Fajar Marta

Wartawan, Editor, Kolumnis 

Indonesia dan Saudi, Siapa Membutuhkan Siapa?

Kompas.com - 01/03/2017, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBambang Priyo Jatmiko

KOMPAS.com - Pertumbuhan ekonomi Arab Saudi terus melambat dalam dua tahun terakhir. Setelah mencatat pertumbuhan fenomenal sebesar 10 persen pada 2011, perekonomian negara teluk itu kemudian turun pada 2012, dengan pertumbuhan 5,4 persen dan turun lagi pada 2013 sebesar 2,67 persen.

Pada tahun 2014, perekonomian Saudi sedikit membaik, dengan laju 3,64 persen. Namun, kemudian terus melambat menjadi 3,5 persen pada 2015 dan 1,4 persen pada 2016.

Tidak seperti negara-negara lain yang relatif stabil, pertumbuhan ekonomi Arab Saudi bagai roller coaster, naik turun secara ekstrim, kadang tinggi sekali, kadang sangat rendah.

Itu terjadi karena ekonomi Saudi sangat bergantung pada minyak. Maklum saja, 75 persen pendapatan negara berasal dari minyak. Bahkan, 90 ekspor negara itu berasal dari industri minyak.

Hampir setengah dari produk domestik bruto (PDB) Saudi disumbang oleh usaha minyak, yang menggambarkan betapa tidak terdiversifikasinya lapangan usaha di negara tersebut.

Nah persoalannya, meskipun menjadi produsen minyak terbesar di dunia dan menyimpan seperlima cadangan minyak dunia, Arab Saudi tak selalu bisa mengendalikan harga minyak. Sementara, harga minyak selalu naik turun mengingat komoditas ini juga menjadi ajang investasi dan spekulasi investor global.

Saat harga  minyak dunia meroket dari 77,45 dollar AS per barrel menjadi 107,46 dollar AS per barrel pada 2011, perekonomian Saudi pun melonjak dan mencatat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia sebesar 10 persen.

Namun, dalam dua tahun terakhir, negara itu harus menerima kenyataan jatuhnya harga minyak ke titik nadir. Pada tahun 2015, harga minyak merosot drastis dari 96,29 dollar AS per barrel menjadi 49,49 dollar AS per barrel. Perekonomian Arab Saudi pun terhantam dan hanya bisa tumbuh 3,48 persen.

Kejatuhan harga minyak terus berlanjut pada 2016, rata-rata hanya 40,76 dollar AS per barrel sehingga pada tahun itu, perekonomian Saudi hanya tumbuh 1,4 persen.

Anjloknya harga minyak membuat penerimaan negara itu pun menyusut drastis. Penerimaan negara menurun 41 persen dari 1,04 triliun riyal saudi menjadi  615 miliar riyal saudi. Dampaknya, belanja negara pun dipangkas besar-besaran. Gaji pegawai pemerintah dipotong dan subsidi juga dikurangi.

Kendati demikian, defisit tetap membengkak mencapai 15 persen PDB. Utang pemerintah pun terus menumpuk menjadi 5,9 persen PDB.

Warga Arab Saudi memang masih menjadi salah satu yang terkaya di dunia, namun pedapatan per kapitanya terus menurun menjadi 21.312 dollar AS.

M Fajar Marta/Kompas.com Pertumbuhan ekonomi Arab Saudi

Tahun 2017, perekonomian negara beribu kota Riyadh itu diperkirakan masih akan terpuruk. Harga minyak memang merangkak naik menyusul kesepakatan organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) untuk memangkas produksi sebesar 1,8 juta barrel per hari.  Saat ini harga minyak dunia berada di level  53,6 dollar AS per barrel

Namun, kondisi itu tidak banyak mendongkrak pendapatan Saudi. Pasalnya, berdasarkan kesepakatan OPEC, negeri kerajaan itu harus memangkas produksi minyak mentahnya dari 10,5 juta barrel per hari menjadi 9,7 juta barrel per hari.

Harga minyak juga diprediksi sulit kembali ke level 100 dollar AS per barrel. Sebab, kini ada Shale oil yang pasokannya berlimpah dan harganya lebih murah ketimbang minyak fosil.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com