Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bos Bursa Tak Sepakat Kebijakan Ekonomi Pemerintah Disebut Ugal-ugalan

Kompas.com - 12/03/2017, 15:02 WIB
Estu Suryowati

Penulis

DENPASAR, KOMPAS.com - Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio kurang sepakat dengan istilah yang dipakai ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri. Faisal menyebut pemerintah Jokowi-JK mengambil kebijakan yang ugal-ugalan di dua tahun pertama pemerintahan.

"Kalau Pak Faisal bilang ugal-ugalan, gue bilang itu konsolidasi," kata Tito ditemui di sela-sela Underwriting Network 2017, di the Anvaya Beach Resorts Denpasar, Bali.

Tito mengatakan, siapapun Presiden yang masuk pada 2014 akan menghadapi turbulensi ekonomi global, dari yang tadinya booming harga komoditas tiba-tiba turun. Pada saat yang sama, ekonomi global melambat.

Dampaknya ke domestik langsung terasa di sektor perbankan. Pada saat booming harga komoditas, loan to depocit ratio (LDR) sayangnya sudah menembus 90 persen, akibat jor-joran mengucurkan kredit.

Sialnya, pada waktu ekonomi global mengalami perlambatan, ruang ekspansi penyaluran kredit sudah amat terbatas. Di sisi lain, pemerintah Jokowi-JK ingin mengejar ketertinggalan infrastruktur.

"Siapapun yang jadi Presiden, akan kesulitan memulainya," kata Tito. Tito meminjam istilah Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, dua tahun pertama pemerintahan adalah masa konsolidasi.

Dan menurut Tito, di tahun ketiga ini, konsolidasi yang dilakukan pemerintah sudah mulai kelihatan hasilnya, seiring dengan membaiknya harga komoditas. Pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 2015 sempat drop di bawah lima persen pun sudah mulai naik.

Mengenai pendanaan untuk pembiayaan infrastruktur, pemerintah juga memperkenalkan skema baru yang tidak harus mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni Pembiayaan Investasi Non-Anggaran pemerintah (PINA).

"Makanya Pak Bambang (Kepala Bappenas) bilang 'Eh, lu swasta ambil ini proyek'. Sudah ada hasil dari konsolidasi, jelas arahnya," ucap Tito.

Sebelumnya, Faisal menilai perekonomian Indonesia dijalankan secara ugal-ugalan oleh pemerintah. Ada dua hal yang dijadikan landasan argumen itu.

Pertama, Faisal menilai pemerintah selalu mematok target penerimaan pajak yang tinggi, padahal kondisi ekonomi nasional dan global sedang mengalami pelemahan. Pada 2015, target pajak sebesar Rp 1.489 triliun, namun realisasinya hanya mencapai Rp 1.240 triliun.

Pada 2016 hal serupa juga terjadi, target pajak dipatok Rp 1.539 triliun, namun realisasi hanya 1.284 triliun triliun.

Kedua, ia menilai pemerintah tidak mempertimbangkan kemampuan anggaran saat merencanakan belanja di dalam APBN. Ia mencontohkan kasus proyek kereta cepat ringan atau light rapid transit (LRT).

Proyeknya sudah dijalankan BUMN, namun terkendala pendanaan di tengah jalan lantaran anggaran yang terbatas.

"Lama-lama saya rasa Bu Sri Mulyani pening kepalanya karena rumusnya Pak Jokowi, 'pokoknya' (tanpa melihat kemampuan anggaran)," kata Faisal.

(baca: Faisal Basri: Kebijakan Ekonomi Pemerintah "Ugal-ugalan")

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com