"Manusia memang tak pernah merasa puas." Itu yang dipercaya banyak orang. Lalu, apakah menjadi rakus itu manusiawi? Kalau manusiawi, apakah itu bisa dibenarkan?
Ada pengalaman menarik yang pernah saya alami. Waktu baru tiba di Jepang, teman saya orang Jepang mentraktir saya makan shabu-shabu. Ini adalah makanan berupa daging sapi yang diiris tipis, dicelup dalam air mendidih, lalu dimakan dengan saos wijen.
Makanan ini cukup mahal, khususnya di restoran tempat saya makan itu. Itu memang restoran shabu-shabu yang terkenal di kota itu. Pertama kali makan, saya merasakan makanan itu luar biasa lezatnya. Ketika itu makan satu porsi rasanya masih kurang.
Ketika saya pergi makan sendiri, dan saya merasakan nikmatnya. Lagi-lagi saya merasa kurang puas, karena makan saya kurang banyak. Berikutnya saya coba paket makan sepuasnya yang disediakan di restoram itu. Dalam bahasa Jepang paket ini disebut tabehodai.
Porsi pertama saya makan. Saat itu saya merasa bahagia karena saya punya kesempatan untuk menambah dengan porsi kedua. Saya nikmati porsi kedua itu sampai habis. Kemudian saya minta porsi ketiga. Kali ini saya tak lagi menikmatinya.
Sebenarnya menjelang akhir porsi kedua saya sudah kekenyangan. Tapi ada dorongan yang membuat saya minta tambahan porsi ketiga, bahkan porsi keempat. Selesai makan porsi keempat saya benar-benar merasa tak nyaman. Menghabiskan porsi keempat sebenarnya sudah merupakan siksaan.
Makan adalah kebutuhan manusia yang paling dasar, untuk bertahan hidup. Keinginan kita untuk makan adalah produk dari sebuah sistem dalam otak kita. Sistem itu terdiri dari 6 bagian, yaitu stimulus, urge, desire, action, evidence, dan reward.
Stimulus atau rangsangan untuk makan muncul dari limbic system dalam otak, misalnya berupa informasi rendahnya glukosa dalam darah. Atau, bisa pula dari signal visual yang ditangkap mata kita saat melihat makanan. Bisa pula dari bau makanan.
Signal itu diolah dalam limbic system, kemudian diteruskan ke cortex (tempat di mana proses logika diolah) menjadi sebuah pesan "lapar".
Pesan ini selanjutnya diolah lagi menjadi desire. Di sini "lapar" tadi diubah menjadi sesuatu yang lebih nyata, yaitu makanan. Bila dorongan tadi sangat kuat, maka akan sangat kuat pula keinginan kita untuk makan.
Pada kasus di mana dorongan itu kuat secara dominan, orang tak lagi bisa berpikir soal lain kecuali makan.
Keinginan ini kemudian memicu action, atau tindakan. Kita makan. Saat mulut mengunyah, sensor dalam mulut melaporkan evidence atau bukti kepada otak, bahwa tuntutan keinginan sedang dijalankan. Itulah sebabnya, meski belum kenyang, ada rasa puas saat kita mulai makan.
Lalu tibalah kita pada fase reward, di mana otak mendapat pesan bahwa dorongan tadi sudah dipenuhi. Tapi tenaga dorongan masih ada, dan kita tetap melakukan perintahnya.
Namun ada titik di mana kita harus berhenti. Perut penuh mengirim pesan "kenyang" ke otak, mematikan saklar stimulus, sehingga menghentikan dorongan. Lalu kita berhenti makan.
Itu adalah siklus pemenuhan kebutuhan dalam otak kita. Ada orang yang mengalami kerusakan dalam sistem itu.