KOMPAS.com – "Saya tak punya bakat khusus. Saya hanya orang yang antusias pingin tahu.” Kalimat ini merupakan terjemahan bebas dari deskripsi diri seorang Albert Einstein, salah satu sosok paling penting dalam sejarah sains dan teknologi modern.
Sampai satu abad silam, siapa yang menyangka orang bisa menyambangi bulan? Jangankan itu, adakah dulu orang sanggup membayangkan ada pesawat ulak-alik meliuk di antara benda-benda langit?
Kepenasaran seperti deskripsi diri Einstein di atas, bisa jadi merupakan pembalik banyak hal yang dianggap sebagai “seharusnya” atau malah “ketidakmungkinan” pada hari-hari ini.
Jangan pernah lupa kisah dan semangat Thomas Alva Edison, yang konon harus menjajal seribu kali untuk mewujudkan bola lampu pijar.
Dalam artikel berjudul Old Man's Advice to Youth: 'Never Lose a Holy Curiosity' di majalah Life edisi 2 Mei 1955, Einstein memberikan tips paling mendasar dalam dunia riset.
“The important thing is not to stop questioning. Curiosity has its ownreason for existence. One cannot help but be in awe when he contemplates the mysteries of eternity, of life, of the marvelous structure of reality. It is enough if one tries merely to comprehend a little of this mystery each day," ujar dia di sana.
Dalam beragam kesempatan berbeda, Einstein kerap pula menegaskan bahwa banyak hal-hal yang jamak dituding semata sebagai imajinasi pada akhirnya memunculkan temuan dan terobosan besar bagi dunia ilmu pengetahuan.
Syukurlah, keingintahuan tingkat tinggi seperti ini masih terus bergulir. Pernah membayangkan bunyi bel tak lagi bisa didengar, misalnya?
Bahasa Inggris mengenal satu ungkapan yang terjemahan bebasnya adalah “bel yang sudah berbunyi tak akan bisa dibuat diam”, antara lain untuk menggambarkan pengungkapan sebuah temuan atau pengakuan publik. Namun, bagaimana bila ilmu fisika membuktikan ungkapan itu bisa jadi tak berlaku lagi?
Adalah Chris Nguyen, mahasiswa teknik dari jurusan Bio-Engineering di University of Winconsin-Madison (UW-Madison), membuktikan bahwa bel yang sudah berdering tak akan selamanya bakal terdengar bunyinya, bahkan dari jarak yang berdekatan.
“Saat saya ingin membeli headphone dengan teknologi cancelling-noise, saya berpikir bagaimana cara kerjanya (headphone itu menahan gangguan suara luar)?” ujar Chris tentang latar belakang menggarap ide “membungkam” bunyi bel ini.
Dalam eksperimennya, Chris berteori bahwa dia bisa menggunakan busa untuk mengisolasi bunyi bel dan mengelimasi gema yang tak diinginkan. Lalu, dia memanfaatkan sebuah mikrofon dan teknologi akustik bawah laut GE untuk mencari frekuensi dan amplitudo bel.
Dari sana, Chris mendapatkan kebalikan fase dari frekuensi dan amplitudo tersebut, untuk mendapati interferensi gelombang yang kemudian “menghilangkan” bunyi bel itu. Hasilnya adalah keheningan absolut saat bel dibunyikan bersanding dengan gelombang interferensi itu.
Kepenasaran yang sama besarnya juga diperlihatkan antara lain oleh Tanusha Goswami dari Manipal Institute of Technology, Manipal University; serta Kevin Dennis dari Virginia Tech. Mereka bersama-sama menjadi pemenang kedua dari kompetisi yang dijuarai Chris.
Eksperimen Tanusha membuktikan bahwa ungkapan Spanyol “Cuando llueva pa’ arriba”—ketika hujan turun ke atas—memang bisa terjadi. Padahal, ungkapan itu biasa dipakai sebagai ujaran untuk sesuatu yang dianggap mustahil terjadi. Medan magnet jadi kunci pembalik kemustahilan ala Tanusha.
Adapun Kevin melawan ungkapan kemustahilan “digantung pakai benang”. Memanfaatkan komposit polimer dari GE, dia membuktikan bahwa sebuah mobil pun bisa diangkat lalu digantung cukup pakai “benang”.
Lalu, apakah eksperimen membalik kemustahilan mereka ada gunanya? Buat apa temuan “permainan” gelombang suara untuk meredam bunyi bel seperti milik Chris, misalnya?
Bayangkan saja di sebuah lingkungan padat penduduk, ada bayi kecil yang setiap kali terbangun dari tidurnya kerena bunyi keriuhan di luar rumah....