Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moody's Turunkan "Rating" China, Kenapa?

Kompas.com - 24/05/2017, 12:00 WIB
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga pemeringkat internasional Moody's Investors Service memutuskan untuk menurunkan peringkat atau rating kredit China dari Aa3 menjadi A1. Ini sekaligus mengonfirmasi outlook dari negatif menjadi stabil.

Mengutip CNBC, Rabu (24/5/2017), pasar nilai tukar asing langsung bereaksi terhadap keputusan Moody's tersebut. Dollar Australia melorot ke kisaran level 0,7452 dollar, dengan fakta bahwa China adalah pasar ekspor terbesar Australia.

"Moody's mengekspektasikan bahwa sebaran ekonomi akan meningkat dalam beberapa tahun ke depan. Program reformasi yang telah direncanakan diprediksi akan melambat," tulis Moody's dalam pernyataannya.

Moody's menyatakan, pentingnya otoritas untuk terus menjaga pertumbuhan yang solid akan berdampak pada stimulus kebijakan yang berkelanjutan.

Moody's pun mengekspektasikan bahwa pertumbuhan ekonomi China akan cenderung tetap relatif tinggi. Selain itu, kisaran potensi pertumbuhan juga cenderung menurun pada tahun-tahun ke depan.

Moody's mengestimasikan bahwa meski defisit anggaran pemerintah pada tahun 2016 moderat pada kisaran 3 persen dari produk domestik bruto (PDB), namun beban utang pemerintah akan meningkat ke level 40 persen dari PDB pada tahun 2018 dan 45 persen pada akhir dekade ini.

Dalam laporannya, Moody's mengestimasikan utang pemerintah, rumah tangga, dan perusahaan non-finansial akan meningkat.

Ini sejalan dengan kegiatan ekonomi cenderung akan dibiayai oleh utang karena absennya pasar ekuitas yang dalam. 

Kompas TV Membaiknya iklim investasi di tanah air mulai banyak menarik perhatian investor asing. Hal ini sejalan dengan perbaikan rating yang diberikan beberapa lembaga, seperti Moody's. Sementara itu, di sisi konsumsi, belanja masyarakat pun terbukti andal ditengah kelesuan ekonomi. Dengan kondisi ini, pemerintah optimistis pertumbuhan ekonomi tahun ini juga bakal melebihi target. Apalagi, sejumlah komoditas andalan Indonesia telah membaik harganya sejalan kenaikan harga minyak dunia. Meski begitu, pemerintah tetap mewaspadai fluktuasi ekonomi dunia. Ini terkait berbagai kebijakan presiden terpilih Amerika Serikat dan juga kondisi ekonomi regional khususnya Tiongkok dan Jepang. Sementara itu, para ekonom juga mengingatkan tantangan dari dalam negeri, khususnya soal penerimaan pajak serta inflasi. Masih liarnya harga sejumlah kebutuhan akan diperparah dengan kebijakan harga terkait pencabutan subsidi tarif listrik. Tentunya target tersebut bisa terlampaui. Sehingga pertumbuhan ekonomi di tahun ini bisa melebihi realisasi tahun lalu dan tentunya bisa lebih dirasakan semua kalangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com