Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kala Dampak Bom Bali Menyadarkan Bos Coco Group

Kompas.com - 09/06/2017, 15:01 WIB

KOMPAS.com - Kalau dihitung, sudah lumayan lama tragedi bom Bali pada 22 Oktober 2002 di Kuta, Bali terjadi. Lantas, sudah lama para pelaku kekejian itu antara lain Mukhlas, Amrozi, dan Imam Samudera menjumpai ajal tertembus timah panas eksekusi oleh aparat regu tembak hukuman mati.

Tapi, terus terang, kejadian berikut dampaknya terasa masih lekat di benak I Nengah Natyanta. "Dampak bom Bali itu terasa," tutur pria yang karib disapa Pak Natya menjawab pertanyaan Kompas.com pada Kamis (8/6/2017) sore saat peluncuran buku Innovative Companies: Perjalanan Perusahaan-Perusahaan Indonesia Mencapai Sukses Berbekal Inovasi.

Kala itu, Bali yang amat sering disambangi turis asing dan lokal, seakan mati suri. Terlebih turis asing, mereka seolah-olah emoh bertandang ke Pulau Dewata.

Malangnya lagi, ketidakhadiran para pelancong asing, membuat pundi-pundi usaha Naya dan istrinya Ni Ketut Siti Maryati, berkurang drastis. Padahal, sejoli ini baru saja membuka Coco Bistro. Resto ini unik lantaran menyediakan kelapa muda sebagai minuman utama.

Namun begitu, sejoli itu tak kekurangan ide cemerlang. Bahkan, keduanya secara cepat mampu mengambil hikmah dari tragedi bom Bali. Salah satunya, ihwal memberi perhatian lebih pada pasar lokal. "Bom Bali membuat saya belajar, bahwa jangan lupakan local market," kata Natya sebagaimana termaktub pada halaman 173 di buku setebal xiv+222 halaman itu.

Potensi pasar lokal yang jumlahnya menyentuh 85 persen dari total industri pariwisata itu mendorong Natyan dan Siti mendirikan minimarket Coco Mart. Minimarket pertama yang didirikan dengan dana pinjaman Rp 400 juta dari Bank Mandiri adalah Coco Mart di Taman Griya Nusa Dua. Tanggal pendirian adalah pada 25 Maret 2006. Kisah keberhasilan Natya dan Siti selanjutnya bisa disimak pada halaman 171 sampai dengan 188 buku terbitan PT Swasembada Media Bisnis itu.

Kompas.com/Josephus Primus Pendiri dan pemilik Coco Group I Nengah Natyanta memegang buku Innovative Companies: Perjalanan Perusahaan-Perusahaan Indonesia Mencapai Sukses Berbekal Inovasi. Bersama istri, Ni Ketut Siti Maryati, Natyanta memulai bisnis sejak 1998 di Nusa Dua, Bali.

Selain kisah Natya, bos Coco Group yang berinovasi demi merebut pasar lokal, ada juga di buku itu kisah Benny Muliawan, Direktur PT Indah Golden Signature yang dengan segala inovasinya sukses menembus pasar emas Swiss. Kreativitas muncul lantaran Swiss juga memproduksi emas batangan. "Kami sempat tiga kali ditolak masuk Swiss," aku Benny dalam kesempatan tersebut.

Total, selain kedua perusahaan asal Indonesia itu, masih ada kisah kesuksesan dari Centro, Bio Farma, JNE, Radana Finance, Propan, Shop & Drive, BPR Lestari, Centrepark, dan Sinar Mas Land. Lalu, pada bagian Epilog di halaman 205 sampai dengan 220 ada catatan yang ditulis sebagai "pelajaran penting" kalau pembaca ingin mengikuti jejak keberhasilan perusahaan-perusahaan tersebut. Empat di antaranya adalah inovasi membutuhkan komitmen kuat dari pemimpin puncak perusahaan, masalah dan tantangan di dunia nyata merupakan peluang untuk berinovasi, berinovasi adalah keberanian untuk berpikir dan melakukan hal yang tidak konvensional alias out of the box, serta ketika standar tertinggi berhasil dicapai, yang lain jadi mudah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com