Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Where do We Go from Here?

Kompas.com - 26/05/2009, 07:27 WIB

Warren Buffett punya prinsip investasi yang sederhana tapi sangat kuat.

Takutlah ketika yang lain serakah, dan serakahlah ketika yang lain takut, begitu kata Buffett yang mulai bekerja pada usia 13 tahun sebagai pengantar koran. Buffett itu sendiri mulai memperkenalkan prinsip investasinya ketika memberikan kursus di Columbia University mengenai bagaimana berinvestasi di bursa Wall Street pada saat ia berusia 21 tahun. Dan Buffett bukan hanya sekedar ngomong tapi juga mempraktekkannya.

Dengan memulai bisnis di bidang investasi dengan mendirikan sejumlah partnership untuk berinvestasi saham, di tahun 1965, pada saat ia berusia 65 tahun, ia memulai sebuah langkah besar dengan membeli saham sebuah pabrik tekstil, Berkshire Hathaway. Setahun kemudian, ia mengambil kendali penuh atas perusahaan tersebut, kemudian melepas partnership-nya dan akhirnya pelan tapi pasti mengarahkan perusahaan tersebut sebagai kendaraan investasinya. Melalui kendaraan investasinya inilah, aplikasi dari prinsip investasinya mulai terlihat jelas.

Dengan jeli ia mengidentifikasi saham-saham yang punya fundamental bagus, tapi ternyata undervalued. Karena percaya dengan fundamental perusahaan dan tentu saja business landscape-nya, ia pun kemudian membeli saham-saham yang semacam itu. Dalam perjalanan waktu, ternyata saham-saham tersebut memang stabil dalam kondisi performansi yang terus menguat dari waktu ke waktu.

Kejadian semacam itu terus berulang, dan karena sedikit yang menandingi, ini membuatnya menjadi apa yang disebut sebagai "Oracle of Omaha", dimana Omaha adalah kota dimana ia tinggal dan bekerja. Harus diakui, kejeliannya mengidentifikasi dan mengkoleksi value stocks, memang sulit tertandingi. Padahal ia sebetulnya hanyalah salah satu dari sekian penganut fanatik aliran investasi value stock.

Tentu saja, tidak selamanya ia mengambil keputusan yang tepat. Tapi, ia tetap kukuh pada prinsipnya untuk tidak investasi saham hanya gara-gara banyak orang yang ingin membeli sehingga harga sahamnya terus bergerak naik dan tidak mau berinvestasi pada saham-saham yang secara fundamental bagus, hanya gara-gara tidak ada yang berani melakukannya. Secara demonstratif, ia mempraktekkan prinsip investasinya dengan membeli saham sejumlah perusahaan Amerika yang dinilai bagus fundamentalnya, pada saat Wall Street anjok, sebagai akibat dampak krisis keuangan global, dan kemudian menuliskan alasannya di koran New York Times, 17 Oktober 2008.

Memang anjloknya bursa Wall Street –dan bursa saham lain di berbagai penjuru dunia– tidak lantas berhenti gara-gara langkah Buffett itu. Tapi, kalau tidak ada langkah seperti yang diambil Buffett, bisa jadi kondisi akan menjadi lebih parah. Dimana mood orang akan buruk, sekalipun ada perusahaan dan produk yang bagus, sehingga bisa mengancam kondisi perekonomian.

Memang di Indonesia, bursa saham baru diakrabi sebagian kecil kalangan. Bahkan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebetulnya belum merupakan representasi perekonomian Indonesia. Tapi apa yang terjadi di Wall Street terjadi juga di BEI dimana orang ketakutan untuk berinvestasi gara-gara indeks yang anjlok, sekalipun ekonomi Indonesia tetap akan tumbuh pada saat negara-negara tetangga turun drastis tingkat pertumbuhannya, dan yang lebih penting lagi, ada banyak saham di BEI yang secara fundamental bagus tapi tidak mendapat apresiasi selayaknya.

Pengalaman kami melakukan studi untuk penulisan KOMPAS100 Corporate Marketing Cases, termasuk saham yang tidak masuk daftar KOMPAS100, menunjukkan adanya dua hal yang saling berkaitan yang menyebabkan fundamental perusahaan tidak dilihat secara seksama. Pertama adalah belum dikenalnya metode sederhana, sehingga bisa diaplikasikan banyak orang, tapi powerful, untuk melihat fundamental perusahaan. Di awal tulisan serial KOMPAS 100 kami menyebut pendekatan David Besanko, yang menggabungkan analisa keuangan dengan strategy value, yang setelah kami analisa sebagian besar adalah mengenai marketing value yang intinya adalah Positioning-Differentiation-Branding (PDB).

Prinsip PDB ini cukup sederhana, yaitu mengidentifikasi positioning dari sebuah perusahaan berdasarkan solid-nya differentiation yang dimiliki. Dan yang menarik, dalam studi dan penulisan KOMPAS100 ini sebetulnya sudah ada sejumlah emiten yang mencoba menciptakan positioning, tapi ternyata diferensiasinya tidak menunjukkan semacam itu. Dan kalau differensiasinya tidak mendukung bisa-bisa emiten akan over promise under deliver.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com