Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
KOMPAS.com - Bukan kebetulan Belanda pertama kali datang ke negeri ini melalui ”kompeni” bernama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Sejak awal imperialisme, VOC mengincar kekayaan alam Indonesia yang berlimpah ruah dan bernilai ekonomis raksasa.
Indonesia adalah negara kepulauan yang eksistensinya diakui sebagai archipelagic state sesuai dengan UNCLOS 1982. Ini buah hasil Deklarasi Djuanda, merujuk pada nama PM Djuanda Kartawidjaja sebagai penggagasnya.
Alhasil, Indonesia sejak masa penjajahan sampai kapan pun merupakan negara dengan nilai strategis dan ekonomis teramat vital. Dan, sampai kapan pun, debat tentang sistem ekonomi yang cocok akan berlangsung.
Gerakan nasionalisme dipelopori Budi Utomo. Namun, tak lama kemudian, Sarikat Dagang Islam memulai prakarsa yang fokus pada ekonomi.
Kesadaran negara yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat makin tinggi setelah revolusi Rusia pecah. Sistem ekonomi eksklusif bagi kalangan borjuasi berakhir digantikan proletarianisme Uni Soviet.
Sejak itu kapitalisme Barat mendapatkan pesaing. Perang kapitalisme versus marxisme jadi salah satu agenda yang mewarnai persaingan Uni Soviet vs Amerika Serikat selama Perang Dingin, selain kompetisi ideologis dan militer.
Perang ini juga mewarnai perjuangan menuju kemerdekaan. Itu sebabnya, UUD 1945 dipersenjatai pasal 33 yang menyatakan semua kekayaan alam demi kesejahteraan rakyat. Satu sila Pancasila menyebut tujuan mencapai kesejahteraan rakyat adil dan makmur.
Oleh sebagian kalangan, Bung Karno dipandang sebagai presiden yang mempraktikkan ”politik sebagai panglima”. Namun, ia juga memulai Rencana Pembangunan Nasional (RPN) yang sudah mencapai tahap ketiga tahun 1961. Tahap pertama RPN bertujuan mencapai swasembada sandang pangan, tahap kedua memulai industrialisasi, dan pada tahap ketiga Bung Karno bertekad Indonesia ”lepas landas” sebagai negara industri.
Setelah pecah pemberontakan PRRI/Permesta akhir 1950-an serta Konfrontasi tahun 1963, republik tak punya dana pembangunan. Bung Karno adalah presiden pertama yang merundingkan ”program stabilisasi” dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk melanjutkan RPN.