Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Terjebak Impor Pangan

Kompas.com - 24/08/2009, 05:50 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com-Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga.

Akibatnya, Indonesia kian terjebak dalam arus impor pangan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan.

Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan.

Krisis kedelai tahun 2007 menjadi pelajaran berharga betapa ketergantungan terhadap pangan impor memicu gejolak sosial masyarakat karena harga tempe dan tahu melonjak tajam. Pasokan impor pun minim. Padahal, kedua produk makanan itu menjadi makanan favorit sebagian besar rakyat Indonesia.

Di sisi lain, pengadaan pangan dari dalam negeri, seperti beras, tebu, dan jagung, juga rentan. Munculnya ancaman kekeringan yang lebih lama akibat fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan.

Kondisi itu bisa dihindari jika petani diberdayakan dan juga infrastruktur pengairan diperhatikan. Fungsi sebagai penyedia dan pengatur air pada saat kemarau harus efektif. Namun, selain terkendala dana, langkah ini juga karena keinginan mengimpor jauh lebih besar daripada mengoptimalkan potensi yang ada tetapi masih terabaikan.

”Ada rencana pemerintah untuk membuka 500.000 hektar lahan pertanian di luar Jawa, tetapi mungkinkah terpenuhi kebutuhan airnya? Pemerintah masih harus membangun embung, bendung, dan bendungan. Belum lagi jaringan irigasinya, sedangkan dana pemerintah terbatas,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Iwan Nursyirwan.

Berkaca kepada Zimbabwe, pada tahun 1970-an hingga 1980-an negara itu adalah pengekspor produk pertanian seperti tembakau, kedelai, dan jagung. Namun, kini Zimbabwe mengalami hiperinflasi karena pasokan produk pangan yang minim, sementara cadangan devisa menipis akibat ekspor yang turun. Ini setelah sektor pertanian yang tadinya andal diabaikan.

Garam pun impor

Data menunjukkan, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com