Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lonjakan Pasar Saham Belum Berakhir?

Kompas.com - 02/09/2009, 13:16 WIB

KOMPAS.com - Sejak level terendah Maret 2009, pasar saham global meroket cukup signifikan. Kinerja saham negara G7 tercatat sebesar 19,22 persen (Kanada), 15,18 persen (Jepang), 10,37 persen (Amerika Serikat), 8,77 persen (Jerman), 8,59 persen  (Italia), 7,22 persen  (Prancis), 5,76 persen  (Inggris), dan di periode yang sama kinerja saham negara berkembang tercatat sebesar 49,11 persen  (Brazil), 57,24 persen  (Russia), 53,51 persen  (India), 52,99 persen  (China) dan 48, 00 persen  (Indonesia).

Beberapa analis mengkhawatirkan kenaikan tersebut akan menghadirkan resiko penurunan. Namun berdasarkan pengamatan kami, jika data-data ekonomi beserta dengan pernyataan Federal Reserve AS dapat dijadikan acuan, maka tidak ada alasan kuat atas koreksi yang signifikan di pasar global. Bahkan diperkirakan pasar bakal kembali menciptakan reli di kuartal ketiga dan keempat. Ada beberapa alasan penting yang membuat kami semakin yakin bahwa aksi beli ini akan terus berlanjut.

Seperti kita ketahui bersama, krisis keuangan global dua tahun lalu menyebabkan kita semua berada di tengah-tengah ekspansi fiskal dan moneter yang terbesar sepanjang sejarah. Dimana ekspansi ini dilakukan terkoordinasi secara global yang dirancang untuk melakukan satu hal, yakni melakukan reflasi aset dalam rangka mengimbangi deflasi (perekonomian yang lesu) - yang efeknya lebih berbahaya.

Sekarang yang menjadi keprihatinan utama para ekonom apabila the Fed terlalu lamban menarik semua likuiditas ketika ekonomi global menunjukkan tunas-tunas pemulihan signifikan. Mereka beralasan suatu kebijakan moneter yang terlalu ekspansif malah berpotensi menciptakan bubble asset.

Hikmah selama krisis Subprime Mortgage AS telah membuktikannya, dimana faktor penting penyebab gelembung kredit perumahan AS tidak lain akibat sikap The Fed sendiri yang menjaga tingkat bunga di level rendah terlalu lama setelah resesi tahun 2001 lalu. Kemudian menaikkannya kembali hanya 25 basis poin secara bertahap di tahun 2004 ketika akhirnya mengubah kebijakan menjadi pengetatan moneter. Kondisi krisis yang dialami sekarang pun tidak jauh berbeda, implementasi stimulus fiskal justru semakin jelas membawa resiko kearah lainnya.

Namun melihat hasil pertemuan tahunan the Fed di Jackson Hole, Wyoming akhir pekan lalu, para pembuat kebijakan ternyata masih melihat ekonomi global terlalu rapuh untuk diterapkan pengetatan moneter. Kebanyakan komentar dari pejabat resmi The Fed mengindikasikan bahwa mereka percaya suku bunga masih dapat dipertahankan pada tingkat yang sangat rendah untuk waktu yang lebih lama tanpa menimbulkan inflasi berlebihan, meskipun mereka menyadari data makro ekonomi mulai membaik serta kembalinya para “spekulan” ke pasar. Contohnya saja di pasar komoditas akhir-akhir ini dimana harga minyak mentah dunia yang naik dua kali lipat dari Maret hingga Agustus semakin menarik perhatian para pelaku pasar yang ingin melakukan hedging atas resiko finansial.

Dalam pertemuan di Wyoming, 21 Agustus lalu, Pemimpin Bank Sentral kawasan Eropa (ECB), Trichet juga ikut memperingatkan untuk tidak terlalu berpuas diri. Komentar tersebut sekaligus memberikan sinyal, bahwa kebijakan moneter di kawasan Eropa akan tetap akomodatif dalam beberapa periode.

Professor Ekonomi dari Harvard, Martin Feldstein, tokoh terkemuka yang pertama kali menyarankan penurunan bunga pada pertemuan Wyoming di tahun 2007 memiliki pemikiran yang serupa. Begitu juga dengan hasil FOMC meeting terbaru yang masih mengulangi pernyataan sebelumnya yakni antisipasi kondisi ekonomi AS yang cenderung lemah sehingga menerapkan suku bunga Federal Reserve di level rendah.

Dari sinilah kita melatih logika dalam menyikapi pasar, dari urutan logis ini kita dapat mengambil tindakan atas posisi kita di sebuah pasar futures dan keuangan. Jika ekspansi moneter diketahui berpotensi menciptakan gelembung aset, dan ekonomi masih dalam tahap penyediaan likuiditas berskala global (memperkecil peluang era Depresi Hebat kedua kalinya), dan niat elit bank sentral untuk tetap menerapkan kebijakan ekspansif (tingkat suku bunga rendah), bukankah hal-hal ini merupakan hal yang positif yang dapat mendorong harga saham melampaui kinerja obligasi dalam 10 tahun mendatang?

Apalagi jika ditambah prospek earning yang masih mengarah naik, dilihat dari data ekspektasi Earnings Per Share (EPS) untuk 2010 telah naik ke 27,2 persen dari 1,5 persen level ekspektasi untuk Januari 2009.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com