Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Krisis Listrik karena Pemerintah Salah Urus

Kompas.com - 16/11/2009, 06:08 WIB

FAISAL BASRI

KOMPAS.com - Secara nasional, keterjangkauan listrik tampaknya berkorelasi dengan lamanya kita menghirup kemerdekaan. Hampir 65 tahun kita merdeka, ternyata baru menghasilkan nisbah elektrifikasi (electrification ratio) 65 persen. Apakah 35 persen penduduk yang belum terjangkau listrik harus menunggu kemerdekaan genap 100 tahun?

Apakah bisa ditoleransi kalau masih ada provinsi, yakni Nusa Tenggara Timur, dengan nisbah elektrifikasi hanya 24 persen? Nasib saudara kita di kawasan timur Indonesia sama buruknya dengan NTT. Apakah bisa diterima akal sehat kalau provinsi-provinsi lumbung energi, yakni Sumatera Selatan dan Riau, hanya sekitar separuh penduduknya yang diberi aliran listrik?

Selama ini mereka pasrah. Kontras dengan warga Jakarta yang dalam sekejap mampu menyihir penguasa sehingga tiba-tiba sangat peduli dengan soal listrik. Bahkan pemerintah berjanji pasokan listrik di Jakarta normal kembali dalam bilangan hari.

Sejak sekarang, tak boleh lagi penyelesaian krisis listrik cuma menyentuh warga Jakarta. Banyak daerah yang sudah bertahun-tahun mengalami krisis listrik. Harus ada peta jalan yang gamblang, dengan target terukur, untuk menghadirkan listrik bagi rakyat kebanyakan, juga bagi industri dan kegiatan usaha lainnya.

Industri kita bakal makin sulit bersaing. Pertumbuhan industri manufaktur kian lemah. Pada triwulan III-2009 sektor ini tumbuh 1,3 persen, lebih rendah dari dua triwulan sebelumnya yang notabene sudah sangat rendah, yakni 1,5 persen. Pasokan listrik ditengarai salah satu kendala utama yang dihadapi industri manufaktur, selain ketenagakerjaan dan pembiayaan. Ironisnya, yang paling terpukul adalah industri kecil karena terlalu mahal bagi mereka membeli genset.

Krisis listrik tak akan separah sekarang jika pembangkit yang ada beroperasi optimal. Kuncinya, keberlanjutan pasokan energi primer yang murah (gas dan batu bara), pemanfaatan pembangkit swasta, serta pemeliharaan pembangkit dan jaringan transmisi/distribusi.

PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) berhasil meningkatkan porsi pembangkit dengan gas dan batu bara sehingga selama semester I-2009 bisa menghemat Rp 9,38 triliun. Potensi penghematan masih besar. PLTGU Tambak Lorok, misalnya, belum beroperasi optimal karena pemerintah tak kunjung menuntaskan pengaturan pasokan gas. Jangan sampai untuk mengamankan kepentingan kelompok bisnis swasta tertentu pemerintah mengorbankan PLN dan rakyat.

Yang juga bisa cepat ditangani pemerintah adalah mengamankan pasokan listrik dari PLTGU Tanjung Priok dan Muara Karang. Kedua pembangkit ini butuh tambahan pasokan gas, tetapi sampai saat ini belum ada kata putus dari Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara. Kalau pengikatan dengan sesama badan usaha milik negara saja tak kunjung tuntas, bisa dibayangkan rumitnya perundingan antara PT PLN dan IPP (independent power plants).

Sumber masalah di tangan pemerintah sebagai regulator. Pemerintah dan BP Migas perlu cepat bertindak agar kepastian segera hadir bagi pelaku di bidang kelistrikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com