Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kementerian Keuangan Tidak Memuaskan

Kompas.com - 22/12/2010, 12:22 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebagai bendahara negara, Menteri Keuangan dan jajaran Kementerian Keuangan bertanggung jawab terhadap empat area utama. Itu adalah penerimaan negara, belanja negara, pembiayaan APBN dan pengelolaan aset (terutama piutang) negara. Kinerja di keempat area tersebut selama beberapa tahun terakhir terlihat jauh dari memuaskan.

"Secara kualitatif, kita mengetahui bahwa kinerja belanja negara diwarnai oleh kelemahan yang sangat kronis. Ini meliputi kegagalan penyerapan APBN, alokasi anggaran yang tidak efisien, alokasi anggaran yang kurang maksimal mendorong pembangunan, dan kebocoran anggaran. Dari sisi pembiayaan APBN, Kementerian Keuangan cenderung melepas SBN (surat berharga negara) dengan yield (imbal hasil) yang mahal, sehingga menjadi beban yang lebih mahal dari semestinya di masa mendatang," ungkap Dradjad H Wibowo, ekonom Sustainable Development Indonesia (SDI) di Jakarta, Rabu (22/12/2010).

Menurut Dradjad, piutang negara baru tertagih sekitar 0,8 persen setelah puluhan tahun. Jika negara diibaratkan sebagai korporasi, maka Indonesia bisa dikatakan telah memiliki departemen treasurer (mengurus perbendaharaan) yang senang mengambil utang mahal. Namun, departemen itu tidak mampu membelanjakan dana dengan benar, serta tidak mampu menagih piutang sebagaimana mestinya.

Dalam hal penerimaan negara, kinerja Kementerian Keuangan (Kemkeu) ternyata sangat memprihatinkan. Jika dikategorikan menurut struktur organisasi Kemkeu, di luar hibah terdapat empat kelompok utama penerimaan negara, yaitu pajak dalam negeri di luar PPh (pajak penghasilan) minyak dan gas serta pendapatan cukai, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pajak perdagangan internasional dan cukai (bea dan cukai), dan PPh Migas.

"Kelompok pertama menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak, kelompok kedua dan keempat Ditjen Anggaran, serta kelompok ketiga Ditjen Bea Cukai. Khusus untuk kelompok ke-2 dan ke-4, peranan kementerian dan lembaga (K/L) lain sangat besar, sehingga DJA (Ditjen Anggaran, Kemkeu) lebih berperan sebagai lembaga penampung. Misalnya, penerimaan dividen sangat dipengaruhi oleh kinerja Kementerian BUMN dan para direksi BUMN, demikian juga dengan penerimaan sumber daya alam oleh K/L sektoral," ungkapnya.

Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di luar hibah, selama empat tahun terakhir dalam periode 2006-2009, negara memperoleh penerimaan sebesar Rp 3.166 triliun. Ini terdiri atas pajak dalam negeri di luar PPh Migas dan cukai (atau pajak yang dihimpun Ditjen Pajak) Rp 1.684 triliun (53.2 persen), lalu PBNP Rp 989 triliun (31,2 persen), dan Bea Cukai Rp 279 triliun (8,8 persen). Selain itu ada penerimaan PPh Migas senilai Rp 214 triliun (6,8 persen).

"Seluruh penerimaan perpajakan (pajak DJP, bea cukai dan PPh Migas) menyumbang Rp 2.177 triliun atau 68,8 persen dari penerimaan negara di luar hibah. Nilai hibah relatif bisa diabaikan karena kecil sekali," ujar Dradjad. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com