Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Defisit Gas Bukan Hanya Infrastruktur

Kompas.com - 17/02/2011, 19:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Defisit gas nasional di beberapa wilayah masih terjadi hingga saat ini. Penyebab terjadinya kekurangan gas nasional itu sesungguhnya tidak hanya disebabkan keterbatasan infrastruktur baik pipa transmisi , distribusi maupun termina penampung gas alam cair atau LNG.  

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi Pertambangan dan Energi (ReforMiner) Pri Agung Rakhmanto, dalam diskusi bertema Pasokan Gas, Antara Harga dan Kebutuhan yang diprakarsai Majalah Geo Energi, Kamis (17/2), di Hotel Bidakara, Jakarta.  

Penyebab lain defisit gas nasional adalah, penurunan kemampuan produksi dari lapangan gas yang ada terkait ketersediaan cadangan terbukti atau proven reserves. Penyebab lain, cadangan terbukti yang ada dan on stream sudah dialokasikan untuk ekspor. Cadangan terbukti yang tidak dialokasikan untuk ekspor belum jelas kepastian rencana pengembangannya, kata dia.  

"Secara keseluruhan defisit gas nasional juga terkait dengan struktur pasar gas domestik yang tidak sehat. Lebih dari 90 persen jalur distribusi dikuasai oleh satu pemain yaitu PT Perusahaan Gas Negara . Hal ini menimbulkan ketergantungan dan posisi tawar konsumen relatif sangat lemah terhadap PGN," ujarnya.   

"Selain itu posisi tawar pemerintah di dalam pengelolaan gas nasional relatif lemah. Pengembangan energi atau gas nasional pun tidak integral, sehingga pelaku utama berjalan sendiri-sendiri," kata Pri Agung menambahkan.  

Kondisi ini ditambah dengan kebijakan parsial pemerintah sebelumnya yang mendorong pengalokasian gas untuk domestik, menyebabkan tingkat harga gas domestik yang berlaku jadi tidak sehat, ujarnya menegaskan.  

Harga jual di tingkat kepala sumur (harga beli gas dari produsen atau KKKS) rata-rata berkisar 2,77 dollar AS per juta british thermal unit atau MMBTU, sedangkan harga jual di tingkat konsumen akhir mencapai 6,3 dollar AS per MMBTU. Jadi ada selisih harga 3,53 dollar AS per MMBTU.  

Dengan biaya pemipaan atau toll fee berkisar 0,02 sampai 0,73 dollar AS per MMBTU (Pertamina) dan 0,46-1,47 dollar AS per MMBTU (PGN), rentang harga 3,53 dollar AS per MMBTU dapat dikatakan terlalu besar.  

Harga 2,77 dollar AS per MMBTU di kepala sumur juga tidak cukup menarik secara ekonomis bagi kontraktor kontrak kerja sama untuk menjual produksi gasnya bagi domestik. Pilihan ekspor atau tidak mengembangkan gas untuk domestik menjadi lebih menarik, kata Pri Agung.  

Atas dasar itu perlu intervensi lebih nyata dari pemerintah, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai kementerian teknis yang terkait langsung dengan pengelolaan sektor migas, dalam menentukan dan pengaturan pengembangan gas domestik.  

Perlu ada sinergi dan koordinasi kementerian terkait, Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas, Badan Pengatur Hilir Migas, dan BUMN Migas dalam merombak struktur pasar dan harga gas domestik lebih sehat, ujarnya. Untuk itu, pemerintah harus tegas untuk bisa mengarahkan dan mensinergikan BUMN Migas agar tidak berjalan sendiri-sendiri.  

Selain itu pemerintah perlu memiliki rencana pengembangan lapangan-lapangan gas yang ada dan pengembangan infrastrukturnya yang lebih kongkrit dalam kaitan dengan pemenuhan kebutuhan gas domestik. Jadi, tidak hanya kompilasi dari rencana para kontraktor migas dan BUMN yang cenderung masih berjalan sendiri-sendiri. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Per Februari 2024, Jumlah Pengangguran RI Turun Jadi 7,20 Juta Orang

Per Februari 2024, Jumlah Pengangguran RI Turun Jadi 7,20 Juta Orang

Whats New
Pembangunan Infrastruktur di Australia Jadi Peluang untuk Produsen Baja Lapis RI

Pembangunan Infrastruktur di Australia Jadi Peluang untuk Produsen Baja Lapis RI

Whats New
KAI Ubah Pola Operasi, 21 Kereta Berhenti di Stasiun Jatinegara

KAI Ubah Pola Operasi, 21 Kereta Berhenti di Stasiun Jatinegara

Whats New
Kejar Target 1 Juta Barrel Minyak, Industri Hulu Migas Hadapi Keterbatasan Rig

Kejar Target 1 Juta Barrel Minyak, Industri Hulu Migas Hadapi Keterbatasan Rig

Whats New
PGN Suplai Gas Bumi untuk Smelter Tembaga Freeport

PGN Suplai Gas Bumi untuk Smelter Tembaga Freeport

Whats New
KKP Kembangkan Jejaring Perbenihan Nasional Ikan Nila

KKP Kembangkan Jejaring Perbenihan Nasional Ikan Nila

Whats New
Kemenhub Evaluasi Pola Pengasuhan di STIP Jakarta

Kemenhub Evaluasi Pola Pengasuhan di STIP Jakarta

Whats New
Konsumsi Rumah Tangga Kembali Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2024

Konsumsi Rumah Tangga Kembali Jadi Penopang Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2024

Whats New
Frekuensi Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah, Waktu Tunggu Lebih Cepat

Frekuensi Perjalanan LRT Jabodebek Ditambah, Waktu Tunggu Lebih Cepat

Whats New
Kepala Bappenas Sebut Pembangunan IKN Capai 80,82 Persen

Kepala Bappenas Sebut Pembangunan IKN Capai 80,82 Persen

Whats New
Simak Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Simak Kurs Rupiah Hari Ini di BCA hingga BNI

Spend Smart
Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Bagaimana Prospek Sahamnya?

Pabrik Sepatu Bata di Purwakarta Tutup, Bagaimana Prospek Sahamnya?

Earn Smart
Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut Sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern

Ada Regulasi Ketransmigrasian Baru, Kemendes Sebut Sebagai Modal Pengembangan Transmigrasi Modern

Whats New
Bagaimana Rekomendasi IHSG Pekan Ini? Simak Aneka Sentimen yang Memengaruhinya

Bagaimana Rekomendasi IHSG Pekan Ini? Simak Aneka Sentimen yang Memengaruhinya

Whats New
Kepala Bappenas: Selama 10 Tahun Terakhir, Pertumbuhan Ekonomi Stabil di Angka 5 Persen

Kepala Bappenas: Selama 10 Tahun Terakhir, Pertumbuhan Ekonomi Stabil di Angka 5 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com