Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desa Mandiri Energi Bohong- bohongan?

Kompas.com - 18/03/2011, 09:22 WIB

Doty Damayanti dan Winarto Herusansono

”Desa Mandiri Energi itu program bohong- bohongan,” ujar Suhari, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Desa Tanjung Harjo, Kecamatan Ngaringan, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah.

Suhari, pekan lalu, menunjukkan tiga kompor berbahan bakar minyak jarak di gudang rumahnya. Beberapa gerumbul pohon jarak yang dulu diharapkan hasilnya hanya menjadi penghias pagar rumah. Itulah sisa program Desa Mandiri Energi (DME) yang dicanangkan meriah tahun 2007.

Program DME diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Februari 2007 di Kabupaten Grobogan. Tanaman jarak sebenarnya cukup dikenal masyarakat Grobogan, banyak dibudidayakan ketika Jepang menguasai Indonesia.

Grobogan diharapkan menjadi percontohan program nasional pemanfaatan jarak pagar untuk bahan bakar nabati. Selain menyampaikan bantuan pengembangan sebesar Rp 10 miliar dan kompor secara simbolis, Presiden juga sempat mencicipi tempe dan tahu goreng yang dimasak dengan kompor berbahan bakar minyak jarak.

Kriteria desa mandiri energi adalah mampu memenuhi sendiri 60 persen kebutuhan energi untuk memasak, transportasi, dan listrik. Tanaman jarak (Jatropha sp) dipilih sebagai sumber bahan bakar nabati dengan pertimbangan bisa bertahan hidup di lahan kritis dan tidak bersaing dengan keperluan pangan.

Kecewa

Untuk mendukung program DME, di Grobogan lalu berdiri pabrik pengolahan biji jarak yang dikelola PT Energi Hijau Lestari (Enhil). Enhil menggandeng PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sebagai pembeli siaga (offtaker) minyak jarak petani Kecamatan Ngaringan.

Menurut Suhari, awalnya kelompok tani di desa itu antusias menanam, tetapi kemudian kecewa karena buahnya jarang meski tanaman subur. ”PT Enhil sempat membeli jarak petani, tetapi cuma Rp 700 per kilogram dari janji Rp 1.500,” kata Suhari.

Setelah beberapa bulan pabrik berhenti beroperasi. Masyarakat tidak pernah mendapat informasi jelas dari pabrik. Suhari mengatakan, sempat ada pendampingan dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Grobogan dan kemudian dari PT Pertamina.

”Pernah ada petugas lapangan dari Pertamina, tetapi tidak memberikan penyuluhan yang benar. Buktinya, buah jarak tetap tidak ada hasilnya. Sekarang tanaman sudah tidak ada. Sementara masyarakat tahunya ada dana Rp 10 miliar. Masih banyak yang datang menanyakan, padahal kelompok tani hanya sekali mendapat bantuan Rp 83 juta,” tutur Suhari.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com