KOMPAS.com — Rakyat Tangerang Selatan, Banten, bersorak-sorai. Selasa (24/5/2011), Wali Kota Tangsel Airin Rahmi Diany menyatakan truk dilarang melintas di daerahnya mulai pukul 05.00 hingga 22.00. Ini jawaban atas ”banjir bandang” truk setelah DKI Jakarta memberlakukan hal serupa, yang merugikan daerah sekitarnya.
Pertempuran antarpemerintah daerah. Itulah fenomena yang kini terjadi ketika daerah saling jegal demi kepentingan dirinya sendiri. Ini baru urusan truk, bagaimana apabila lain hari Jawa Barat menyetop aliran Sungai Citarum bagi kebutuhan irigasinya? Ah, Jakarta bisa mati kehausan.
Kebijakan sepihak pemerintah daerah tanpa mempertimbangkan faktor lain, seperti daya saing, dikeluhkan pemerhati transportasi Rudy Thehamihardja. ”Bahaya kalau pemda sewenang-wenang. Karena Jagorawi makin macet, bagaimana apabila besok truk dilarang lewat jalan tol itu oleh Pemda Bogor?” ujarnya.
Truk juga berpotensi dibatasi di Tol Semarang Kota, Jawa Tengah, lantas dibatasi melintasi Tol Surabaya-Porong, Jawa Timur, mungkin juga dilarang lewat Tol Padalarang-Cileunyi oleh Pemerintah Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Larangan sepihak itu dikhawatirkan menginspirasi pemda lain—yang walau tak punya jalan tol, tetapi membatasi truk di jalan arteri.
Ironisnya, pembatasan truk—yang kini mengangkut 90 persen barang di darat—dilakukan di tengah peringkat daya saing Indonesia di bawah Malaysia dan Filipina. Dan, kekalahan daya saing kita terletak pada infrastruktur. Nah, sudah infrastruktur terbatas dan buruk, kini lewat pun dibatasi. Hebat bukan?
Yang lebih menyakitkan, truk dibatasi untuk memberi ”ruang” bagi kendaraan pribadi supaya tak terlalu memacetkan. Alih-alih mendorong lebih cepat penyediaan transportasi massal, pemda mengambil jalan pintas itu. Walau harus disadari, kendaraan pribadi makin membengkakkan subsidi negara. Yang bahkan biaya subsidi BBM dapat menembus angka Rp 69 triliun apabila pemerintah terus mempertahankan harga premium.
Jujur saja, selain jaringan tol yang belum sempurna akibat DKI Jakarta lamban membebaskan lahan dan volume kendaraan yang tinggi, truk berkecepatan rendah di tol ikut memicu kemacetan. Leletnya truk itu disebabkan beban berlebih dan mesin tua yang tak lagi bertenaga.
Nah, justru di sinilah kompetensi Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk menindaknya. Di mana jembatan timbang DKI Jakarta untuk mengukur beban berlebih? Mengapa mekanisme uji kir tidak mampu mengenyahkan truk tua? Sangat disayangkan Dishub DKI Jakarta telanjur mencuci tangan.
Juga sangat disayangkan ketika instruksi Menteri Perhubungan untuk mencabut larangan tak digubris oleh Dishub DKI Jakarta. Hal itu mempertontonkan preseden buruk terhadap iklim investasi kita karena bagi investor yang terpenting adalah kepastian hukum dan berjalannya struktur birokrasi.
Belum lagi Organisasi Pengusaha Nasional Angkutan Bermotor di Jalan (Organda) kembali mengancam mogok beroperasi pada Jumat ini. Dan, strategi selanjutnya—apabila mogok tak berhasil—adalah membebankan kenaikan tarif transportasi kepada pemilik barang dengan dampak lonjakan harga barang bagi konsumen akhir.
Pertempuran untuk ”mengenyahkan” truk seharusnya tak perlu terjadi apabila sedari awal semua pihak duduk di satu meja. Tabik. (HARYO DAMARDONO)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.