Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontribusi Perusahaan Tambang Tak Cuma 1-2 Persen

Kompas.com - 14/11/2011, 16:41 WIB
Ester Meryana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia (API), Syahrir AB, menyatakan kontribusi perusahaan-perusahaan pertambangan di Indonesia tak sekecil yang digembar-gemborkan sejumlah pihak. Perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia telah memenuhi kewajibannya terhadap penerimaan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat di sekitar daerah operasi perusahaan.

Hal ini dikemukakan API terhadap gencarnya pernyataan para petinggi pemerintah, pengamat, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang menyebutkan bahwa perusahaan pemegang kontrak karya (KK) hanya berkontribusi 1-2 persen kepada negara dari penerimaan royalti. Hal tersebut telah memperburuk citra pertambangan Indonesia. Menurut dia, hal itu merupakan suatu kesalahpahaman yang seharusnya dapat dijelaskan oleh pemerintah. Baik itu penjelasan mengenai sumber, distribusi, dan struktur penerimaannya.

"Perusahaan tambang di negeri ini telah memenuhi kewajibannya terhadap negara, daerah, dan masyarakat lingkar tambang dalam bentuk pajak dan non-pajak, pajak dan restribusi daerah, corporate social responsbility, infrastruktur daerah remote dan banyak lainnya," sebut Syahrir dalam laporannya mengenai industri pertambangan Indonesia, di Jakarta, Senin (14/11/2011).

Ia mengatakan, ada minimal 27 jenis kewajiban perusahaan terhadap pemerintah pusat dan daerah yang dipenuhi perusahaan. Seluruh kewajiban tersebut, terang dia, mencapai sekitar 30 persen dari penerimaan kotor perusahaan. Dari persentase itu sebesar 85 persennnya diberikan ke pemerintah pusat, sedangkan 15 persen kepada pemerintah daerah.

"Yang ke pemerintah daerah, terdistribusi sebesar 7 persen ke kabupaten penghasil, 3 persen ke pemerintah provinsi, dan 5 persen ke kabupaten dan kota dalam provinsi," jelasnya.

Dari distribusi penerimaan itu, ia menegaskan ada dua hal yang perlu dicermati. Pertama, bagian 85 persen yang mengalir ke pemerintah pusat merupakan mekanisme subsidi silang dari kabupaten kaya bahan galian tambang ke kabupaten miskin. Menurut dia, hanya ada 38 kabupaten dari total sebanyak 423 kabupaten di Indonesia yang merupakan penghasil bahan tambang.

Hal kedua yang perlu diperhatikan, yakni, adanya ketidaktahuan para bupati bahwa Dana Alokasi Umum, yang di sebagian kabupaten menyumbang lebih dari 85 persen APBD, merupakan subsidi silang dari kabupaten kaya sumber tambang ke kabupaten miskin.

Jadi, terang dia, tidak benar jika ada anggapan bupati yang menyatakan bahwa penerimaan negara dari sektor tambang yakni hanya sekitar 7 persen, yang dinilai terlalu kecil dibandingkan terkurasnya sumberdaya tambang dan dampak sosial dan lingkungan di daerahnya. "Dana itu kan masuk ke Kementerian Keuangan dulu baru ke kabupaten," jelas dia.

Alhasil, karena ketidaktahuan tersebut, beberapa kabupaten pun melakukan pemblokiran akses ke lokasi tambah, pembakaran aset, hingga mengundang penambang liar.

Syahrir pun berujar, adalah wajar jika ada permintaan untuk memperbesar penerimaan negara dari industri tambang. Tetapi, lanjut dia, perlu juga instrumen yang adil dan transparan bagi perusahaan tambang. Misalkan saja, ada patokan dari pemerintah berapa marjin keuntungan yang wajar bagi perusahaan tambang. Lebih dari wajar, kata dia, maka bisa dikenakan pajak oleh pemerintah.

Ia pun menyebutkan, KK bisa disesuaikan menurut UU Hukum Perdata Indonesia Pasal 1338 sebagai hukum para pihak. Begitu pula dengan UU No 4 Tahun 2009 , pasal 171 , sekalipun masih ada hambatan di pasal 169 (b).

"Commercial interest perusahaan dalam bentuk maksimalisasi keuntungan pasti masih bisa dikompromikan dengan country interest dalam bentuk besaran kontribusi perusahaan tambang terhadap negara dan daerah melalui kebijakan yang diikuti dengan peraturan perundangan yang fair dan transparan," tutup dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com