Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

HPP Jangan Merugikan Petani

Kompas.com - 20/02/2012, 17:50 WIB
Agnes Swetta Br. Pandia

Penulis

SURABAYA, KOMPAS.com - Harga pembelian petani jangan merugikan petani. Alasannya jika pemerintah mematok Rp 8.750 per kilogram, dikhawatirkan petani yang menanam tebu makin berkurang.

Seperti diungkap Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Arum Sabil di Surabaya, Senin (20/2/2012) harga pembelian petani (HPP) minimal Rp 9.000 per kilogram, sehingga daya tarik menanam tebu masih ada.

Dalam kondisi sekarang dengan HPP Rp 7.000 per kilogram, sudah 10 persen dari lahan tebu rakyat di Jatim seluas 170.000 hektar tak ditanami tebu lagi. Petani memilih komoditas lain yang lebih menjanjikan seperti padi.

Ketua Umum DPP Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) Subiyono juga mendukung HPP yang kini pada kisaran Rp 7.000 menjadi Rp 9.250 per kilogram. Dengan HPP Rp 9.250 , kesejahteraan petani meningkat sehingga bisa menghambat pengurangan lahan untuk tanaman tebu.

Subiyono mengungkapkan hal itu menanggapi usulan HPP dari Kement erian Pertanian kepada Kemente rian Perdagangan sebesar Rp 8.750 per k ilogram. Alasannya, industri gula di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Namun, mampu memberi nilai tambah bagi petani yaitu meningkatkan pendapatan petani tebu.

Pada prisipnya kata Direktur Utama PTPN X itu, industri gula harus mampu meningkatkan perekonomian pedesaan . Jadi kenaikan HPP sangat penting bagi keberlangsungan pabrik gula khususnya di Jatim. Apalagi 92 persen suplai bahan baku yaitu tebu merupakan tebu milik petani atau tebu rakyat.

Oleh karena itu jika petani menilai menanam tebu tidak bisa memberikan nilai tambah, maka tidak menutup kemungkinan mereka beralih ke komoditas lain yang lebih menjanjikan. Salah satu upaya men sukseskan program swasembada pangan, pemerintah memberi kemudahan bagi komoditas lain, antara lain subsidi bunga dan bantuan bibit. Sedangkan tebu fasilitas itu justri ditdak ada, ujarnya.

Secara nasional, kebutuhan konsumsi gula rumah tangga sebesar 2,9 juta ton, untuk industri makanan dan minuman sebesar 2,7 juta ton. Sedangkan dari 62 pabrik gula di Indonesia, tahun 2011 hanya memproduksi sebanyak 2,4 juta ton. Jadi untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri masih impor. Untuk itu dibutuhkan kebijakan yang mampu menumbuhkan gairah petani untuk terus menanam tebu guna memenuhi kebutuhan pabrik gula.

Waspada
Secara terpisah Kepala Bidang Pemasaran PTPN XI, Adig Suwandi rencana impor 240.000 ton raw sugar untuk diolah pabrik gula, mengingat empat 4 periode awal giling (2 bulan), umumnya sulit diperoleh tebu masak. Kondisi tersebut belum selesainya program penataan varietas. Komposisi varietas idealnya masak awal, tengah, dan akhir 30-40-30 persen.

Kendati demikian kata dia dalam pelaksanaan impor raw sugar ha rus ada koordinasi dengan pemerintah provinsi setempat, seperti Jatim yang sangat berhati-hati menerima produk impor.

"Tanpa koordinasi dengan pemprov, akan sangat sulit raw sugar dibongkar di pelabuhan, sehingga bila terjadi beda pendapat potensial persoalan baru," ujarnya.

Apalagi Jatim sebagai daerah penghasil gula dengan kontribusi 1,2 juta-1,4 juta ton, sedangkan kebutuhan sekitar 480.000-550.000 ton. Ada penjelasan rasional dan dapat diterima bahwa hasil pengolahan raw sugar dan surplus gula Jatim untuk kepentingan nasional yang lebih luas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com