Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bea Keluar Tambang Sebaiknya Progresif

Kompas.com - 18/04/2012, 17:35 WIB
Eny Prihtiyani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pajak ekspor atau bea keluar yang rencananya akan diterapkan untuk komoditas tambang sebaiknya menggunakan sistem progresif. Sistem tersebut lebih dinamis dan adil karena mengikuti harga jual di pasar. Sistem progresif juga sudah teruji dalam komoditas kelapa sawit dan kakao.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh mengemukakan hal itu di Jakarta, Rabu (18/4/2012).

"Penerapan bea keluar mendesak untuk dilakukan. Pertimbangannya, untuk mencegah eksploitasi berlebihan sebelum diberlakukan pelarangan ekspor tambang mentah. Pertimbangan lain adalah untuk mendorong hilirisasi industri pertambangan," katanya.

Menurut dia, sistem pajak progresif lebih tepat untuk komoditas tambang. Sistem tersebut juga sudah dipakai untuk sawit dan kakao. Kedua komoditas itu dikenai bea keluar maksimal 25 persen. Bea keluar progresif ditetapkan setiap bulan mengikuti perubahan harga patokan ekspor. Menurut saya, sistem progresif lebih pas," ujar Deddy.

Deddy menegaskan, sampai saat ini belum ada keputusan terkait dengan besarnya bea keluar. Pihaknya juga belum menerima usulan besaran bea keluar dari Kementerian Perindustrian serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Sebelumnya, pemerintah mempunyai wacana bea keluar maksimal 50 persen, yang akan diberlakukan secara bertahap.

Menteri Perindustrian MS Hidayat pernah mengatakan, bea keluar yang tinggi perlu diterapkan untuk pertambangan. Tujuannya adalah untuk mengantisipasi para pengusaha nakal yang kemungkinan mengeksploitasi tambang secara besar-besaran sebelum pelarangan diberlakukan.

Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan, saldo piutang negara dari sektor pertambangan bertambah menjadi sekitar Rp 1,1 triliun. Hal ini terungkap dalam laporan keuangan Kementerian ESDM per 31 Desember 2011. Piutang itu berasal dari iuran tetap, royalti, dana hasil penjualan batubara, dan denda.   

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com