Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bea Keluar Mineral, Diprotes Pengusaha Nasional dan Asing

Kompas.com - 18/06/2012, 08:21 WIB
Ester Meryana

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah baru saja menelurkan sejumlah peraturan yang intinya berusaha membatasi ekspor bijih mineral. Maksudnya, ekspor nantinya tidak boleh hanya berupa bahan mentah. Harus punya nilai tambah. Niatan Pemerintah tersebut sebenarnya sudah tertuang dalam Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Di dalam UU itu tertera kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014. Tapi, UU itu belum ampuh memaksa pemegang izin usaha pertambangan (IUP) untuk melakukan kewajiban tersebut, salah satunya membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian. Alhasil, tiga tahun setelah UU diterbitkan, terjadi peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran.

Ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800 persen, bijih besi meningkat 700 persen, dan bijih bauksit meningkat 500 persen. Dengan dasar untuk menjamin ketersediaan bahan baku untuk pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri dan mencegah dampak negatif terhadap lingkungan, Pemerintah pun mengeluarkan peraturan baru. Peraturan tersebut dikeluarkan oleh tiga kementerian yakni Kementerian Perdagangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Kementerian Keuangan. Ketiganya berbentuk Peraturan Menteri.

Akan tetapi, sejumlah Peraturan Menteri tersebut tak mendapat sambutan positif secara menyeluruh oleh pengusaha pertambangan nasional.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), Poltak Sitanggang, meminta keadilan dari Pemerintah. Ia meminta agar aturan bea keluar juga diterapkan kepada perusahaan tambang asing.

"Yang menjadi pertanyaan saya kenapa bea keluar hanya diberikan kepada pengusaha nasional, sedangkan asing tidak, seperti Freeport, INCO, Newmont. Itu tidak benar," sebut Poltak kepada Kompas.com, Minggu (17/6/2012).

Pada dasarnya, kata Poltak, pengusaha nasional akan mendukung setiap kebijakan Pemerintah. Pengusaha akan mendukung sepanjang kebijakan bisa dikomunikasikan dengan baik. Peraturan Menteri Keuangan No 75/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar menyatakan, seluruh eksportir 65 jenis mineral, baik logam, bukan logam, maupun bebatuan wajib menyetor bea keluar ekspor 20 persen ke kas negara mulai 16 Mei 2012. Beleid ini dipandang Apemindo sebagai peraturan yang tidak adil bagi pengusaha nasional.

"Kalau kita, pengusaha nasional dikenakan, di dalam negeri sudah tidak bisa berkompetisi," tegas Poltak.

Pertentangan juga didapatkan Pemerintah dari pengusaha dan Pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang mengancam menyeret Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena kebijakan ekspor bijih mineral, termasuk bea keluarnya. Sikap ini dilakukan karena Jepang merupakan negara kedua terbesar pengguna nikel di dunia.

"Langkah-langkah sepihak di Indonesia itu tidak sesuai dengan aturan WTO," kata Takayuki Ueda, Direktur Umum Industri Manufaktur Departemen Perdagangan Jepang, Senin (11/6/2012).

Beleid tersebut, menurut Ueda, dikhawatirkan akan menurunkan kinerja industri manufaktur di Jepang karena biaya produksi perusahaan akan membengkak. Sebab, kebijakan baru Pemerintah Indonesia bisa menimbulkan adanya potensi kenaikan harga nikel sebesar 17 persen menjadi 20.000 dollar AS per metrik ton pada kuartal keempat nanti. Apalagi Indonesia merupakan sumber bahan baku biji mineral utama bagi Jepang. "Tidak ada negara lain yang menggantikan Indonesia," kata Toshio Nakamura, Manajer Umum Bahan Baku Logam di Mitsui & Co yang merupakan pedagang nikel terbesar di Jepang.

Menurut Ueda, Pemerintah Jepang akan berusaha menempuh jalan negosiasi sebelum memutuskan untuk menyeret Indonesia ke WTO. Negosiasi juga akan dilakukan Apemindo dengan tiga kementerian terkait. Tapi, kata Poltak, bila langkah dialog sudah tidak bisa maka tidak tertutup kemungkinan asosiasi melakukan upaya hukum.

"Tapi kita tetap mengedepankan upaya dialogis," kata Poltak.

Terhadap pertentangan kebijakan baru ini, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Bambang S Brodjonegoro, di Jakarta, Rabu (13/6/2012), mengatakan aturan WTO memang tidak boleh melarang ekspor, tetapi mengenakan hambatan boleh. Adapun bea keluar merupakan jenis hambatan tarif untuk membatasi ekspor bahan mineral mentah.

Akan tetapi, Bambang menyebutkan, bila memang aturan pembatasan ekspor bijih mineral terbukti merugikan, maka harus diperbaiki. Tetapi, ia tetap bersikukuh bahwa penerapan bea keluar tidak menyalahi aturan. "Bea keluar itu salah satu cara supaya kita tidak melarang ekspor," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com