JAKARTA, KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu segera memberikan lampu hijau kepada pemerintah untuk segera bisa melakukan penyelesaian pembelian 7 persen sisa saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Hal itu disebabkan batas perjanjian jual beli (sales and purchase agreement) saham Newmont oleh pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) hanya sampai 25 Oktober 2012.
Financial Analyst dan Founder Katadata Lin Che Wei menyatakan Mahkamah Konstitusi pada 31 Juli lalu telah memutuskan bahwa rencana pembelian saham Newmont oleh PIP harus seizin DPR. Pemerintah melalui Menteri Keuangan pun telah menyatakan kesiapannya untuk melobi DPR.
"Tapi kalau melihat kondisi keuangan Group Bakrie yang sedang anjlok saat ini, DPR seharusnya tidak ragu untuk mempersilahkan pemerintah pusat untuk segera mengambil saham Newmont. Dengan beban utang yang dialami Group Bakrie, jelas akan menyulitkannya untuk bisa membeli saham itu," kata Lin dalam diskusi Momentum Emas Pemerintah Kuasai Sisa Saham Newmont di Menara BCA Jakarta, Kamis (6/9/2012).
Hingga kuartal I-2012, total utang perusahaan terafiliasi dengan Bakrie Brothers mencapai Rp 21,4 triliun. Dari nilai tersebut, ada sekitar Rp 7,1 triliun utang jatuh tempo pada 2012 ini. Selain itu, ada juga utang dalam mata uang dollar AS yaitu senilai 5,7 miliar dollar AS. Dari nilai itu, 275 juta dollar AS adalah utang jatuh tempo tahun ini.
Bila dirinci, PT Bakrie Brothers Tbk (BNBR) memiliki total utang Rp 8,6 triliun, PT Bumi Resources Tbk (BUMI) memiliki utang 3,69 miliar dollar AS dan PT Bumi Resources Mineral Tbk memiliki utang 295 juta dollar AS. "Memang ini bukan kondisi ideal, tapi pemerintah harus segera melobi DPR agar memuluskan rencana pembelian saham tersebut," katanya.
Sekadar catatan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik dan Menteri Keuangan Agus Martowardjojo untuk melobi DPR RI terkait upaya pemerintah melakukan divestasi 7 persen PT Newmont Nusa Tenggara (NNT).
Kepala Negara berharap ada solusi yang baik terkait rencana tersebut. "Dibahas satu persatu agar ada solusi," kata Presiden.
Presiden juga menekankan, dirinya tak ingin divestasi tersebut hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu. Divestasi ini harus mampu membawa keuntungan dan manfaat bagi rakyat Indonesia.
Sebelumnya, pengamat energi dan pertambangan Kurtubi mengatakan, berlarut-larutnya proses pembelian saham divestasi menguntungkan pemilik saham asing. Pasalnya, pembagian dividen pada peserta Indonesia yang akan memiliki saham itu tertunda. Meski demikian, kata Kurtubi, putusan Mahkamah Konstitusi terkait divestasi itu akan berdampak positif bagi iklim investasi pertambangan. Oleh karena, kasus pertambangan itu bisa diselesaikan secara konstitusional.
Mahkamah Konstitusi menetapkan pemerintah harus meminta persetujuan DPR RI jika hendak membeli saham divestasi itu. Kurtubi menilai hal itu merupakan keputusan yang tepat karena sesuai kontrak karya yang ditandatangani PT NNT, yakni 51 persen saham dijual ke pihak Indonesia. Dari total saham divestasi itu, sebanyak 7 persen di antaranya merupakan hak Indonesia yaitu pemerintah pusat dan daerah.
"Ini juga bagus bagi iklim investasi pertambangan, karena kasus pertambangan bisa diselesaikan secara konstitusional," ujarnya.
Jika hendak dibeli Pusat Investasi Pemerintah (PIP), semestinya pemerintah meminta persetujuan DPR RI, karena pembelian saham divestasi itu akan memakai uang negara.
"Alasan PIP dan Menteri Keuangan terkait rencana pembelian saham divestasi 7 persen untuk memperbaiki manajemen Newmont adalah alasan sumir, mengingat pemerintah juga punya saham di PT Freeport Indonesia 9 persen, dan ternyata pemerintah tidak bisa berbuat apa pun," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.