Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sumber Energi Memicu Konflik

Kompas.com - 19/10/2012, 16:08 WIB
Evy Rachmawati

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Jumlah penduduk dunia terus meningkat dari 7 miliar penduduk saat ini dan diperkirakan bertambah menjadi sembilan miliar jiwa pada 2045. Hal ini akan menjadikan energi sebagai sumber konflik dan pertentangan.

Semua negara berpacu mengejar pertumbuhan ekonomi dan menambah permintaan energi, sementara pasokannya kian terbatas. Karena itu, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) mendesak pemerintah menyusun dan melaksanakan peta jalan kebijakan energi yang tepat dan berani.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Pengurus Pusat ISNU pada diskusi panel ahli ISNU, Jumat (19/10), di Jakarta.

Selama ini, menurut Ali, isu energi tereduksi pada persoalan subsidi BBM ketika harga minyak dunia naik dan konsumsi telah melampaui kuota. Padahal, persoalan ini sekadar hilir. "Pemerintah hanya sibuk dengan politik anggaran, tanpa fokus pada kebijakan energi," kata Ali.

Ali mengkritik minimnya keberanian dan kemauan politik pemerintah untuk menyusun dan melaksanakan peta jalan kebijakan energi yang berorientasi kepada kedaulatan energi dan ketahanan energi. "Kedaulatan energi terkait dengan penguasaan sektor hulu, ketahanan energi terkait jaminan pasokan di sektor hilir," ujarnya.

Lebih jauh, persoalan di hulu terkait penguasaan sumber daya energi dan mineral, dengan dominasi asing yang sangat menonjol. Sektor hulu migas, misalnya, 88 persen atau lebih dari dua pertiga wilayah kerja pertambangan migas dikuasai asing.

Atas dasar itu, ISNU mendesak perombakan kebijakan energi di sektor hulu dan hilir, antara lain dengan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba agar lebih memihak kepentingan nasional.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com