Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Solusi Permanen Migas

Kompas.com - 20/11/2012, 11:05 WIB

Kurtubi

Berawal dari krisis moneter yang dialami Indonesia tahun 1998, Indonesia ”terpaksa” mencari pinjaman dari Dana Moneter Internasional dengan segala konsekuensinya.

Dalam letter of intent (LOI), IMF meminta Indonesia mengganti peraturan perundang-undangan di bidang energi/ migas yang berlaku saat itu, yakni UU No 8/1971, agar pintu liberalisasi dibuka. Diajukanlah RUU Migas kepada DPR pada 1999 oleh Kuntoro Mangkusubroto, Menteri Pertambangan dan Energi (Mentamben) pada era Presiden BJ Habibie. Namun, RUU itu ditolak DPR. Terjadi pergantian kepemimpinan nasional. Habibie lengser dan diganti Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden boleh berganti, tetapi LOI-IMF harus dilaksanakan. RUU Migas yang sudah terkubur karena ditolak DPR bangkit kembali, semacam ”zombie” dalam wujud ”RUU Migas Jilid II” yang diajukan kepada DPR lewat Sekretariat Negara oleh Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Mentamben pada era Gus Dur. Namun, RUU Migas belum sempat dibahas di DPR, Gus Dur mengganti SBY dengan Purnomo Yusgiantoro sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Setelah melewati pembahasan alot di DPR, khususnya di Komisi Energi yang diketuai Irwan Prayitno (kini Gubernur Sumatera Barat), akhirnya Purnomo berhasil meloloskan RUU Migas Jilid II dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR yang dipimpin Wakil Ketua DPR AM Fatwa pada era Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2001. Sejak disahkan menjadi UU Migas No 22/2001, UU ini telah diimplementasikan oleh Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro selama sekitar 8 tahun, dilanjutkan Menteri ESDM Darwin Zahedi Saleh dan kini oleh Menteri ESDM Jero Wacik di bawah Presiden SBY.

Substansi Isi UU Migas No 22/2001

Substansi pokok UU Migas No 22/2001 adalah dihilangkannya penguasaan/kedaulatan dan kepemilikan negara atas aset/ kekayaan sumber daya alam migas serta diserahkannya pemenuhan kebutuhan bahan bakar minyak dan gas dalam negeri berikut harga jualnya sepenuhnya pada mekanisme pasar. Pemerintah diarahkan untuk berperan sebagai regulator dan pengawas yang baik dan fair.

Untuk menghilangkan penguasaan/kedaulatan dan kepemilikan negara atas sumber daya migas, kuasa pertambangan (KP) yang menurut UU No 8/1971 diamanatkan/diserahkan kepada BUMN (Pertamina), dengan UU Migas No 22/2001 Pasal 4 Ayat 2 dicabut dari Pertamina dan dikembalikan ke pemerintah (cq menteri teknis). Pemerintah sebagai pemegang KP, lalu membentuk BP Migas (Pasal 4 Ayat 3) yang ditugasi mewakili pemerintah menandatangani kontrak dengan perusahaan asing/swasta. Namun, anehnya KP tak diberikan kepada BP Migas. Dengan trik/ tipuan hukum, KP yang sudah dipegang menteri justru oleh menteri diserahkan kepada perusahaan asing/swasta lewat Pasal 12 Ayat 3 dan Pasal 1 Ayat 5.

Rakyat Indonesia sepatutnya berterima kasih kepada Serikat Pekerja Pertamina yang mengajukan uji materi atas UU Migas ke Mahkamah Konstitusi tahun 2004 sehingga MK memutuskan mencabut Pasal 12 Ayat 3 tentang KP ke asing itu.

Namun, kendati Pasal 12 Ayat 3 sudah dicabut, risiko hilangnya kedaulatan dan kepemilikan negara atas aset/kekayaan migas nasional tetap menganga. Sebab, BP Migas mewakili pemerintah dalam menandatangani kontrak dengan perusahaan asing/swasta. Sementara BP Migas merupakan lembaga/bagian dari pemerintah yang tak mempunyai aset (yang sebanding) dengan partner kontraknya. BP Migas bukan entitas bisnis milik negara, melainkan berbentuk badan hukum milik negara yang sengaja didesain dengan tidak memiliki Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat. BP Migas dibiayai oleh uang negara yang dianggarkan Menteri Keuangan. Dengan demikian, hubungan BP Migas dengan partner kontraknya bukanlah hubungan perdata karena yang menjadi obyek kontraknya adalah aset/harta milik publik/negara.

Karena itu, dengan UU Migas, pola hubungan dengan perusahaan asing/swasta menjadi pola business to government (B to G). Pola ini menghilangkan kedaulatan negara dan aset pemerintah di luar negeri berisiko terekspos dan dapat disita partner kontrak BP Migas jika, misalnya, pengadilan/arbitrase internasional memutuskan BP Migas kalah dalam suatu perkara.

Meski dalam negeri kita sangat membutuhkan gas dan gas yang dikembangkan atas dasar UU Migas dari Papua dijual dengan harga sangat murah ke luar negeri, pemerintah/BP Migas tak berdaya dan tak berani (karena kedaulatan telah hilang) untuk mengalihkan pengapalan LNG dari Papua ke China menjadi ke dalam negeri. Sebagai gambaran, potensi kerugian akibat penjualan gas secara murah ke China sekitar Rp 30 triliun per tahun, sementara kerugian karena tak dialokasikannya gas dari train 1 dan 2 LNG Tangguh ke dalam negeri—yang antara lain menyebabkan PLN harus beralih ke BBM—mencapai sekitar Rp 37 triliun dalam dua tahun.

Jika benar seandainya pemerintah tetap berdaulat atas aset/kekayaan migas nasional seperti yang diklaim dalam iklan UU Migas di berbagai media, seharusnya pengapalan LNG ke China bisa dialihkan untuk memenuhi keperluan dalam negeri. Dengan begitu, PLN tak perlu pindah ke BBM dan gas milik negara tak harus diekspor dengan harga sangat murah. Yang terjadi hingga saat ini, tidak satu pun pengapalan LNG dari Papua ke China yang dialihkan untuk keperluan dalam negeri.

Selain kedaulatan telah hilang, sejak berlakunya UU Migas, kegiatan eksplorasi untuk mencari cadangan di blok baru mengalami anjlok secara drastis sehingga lifting atau produksi minyak terus anjlok karena penemuan sangat langka, padahal potensi sumber daya migas di perut bumi masih sangat besar. Ini terjadi karena kehadiran BP Migas telah menyebabkan sistem perminyakan nasional menjadi sangat ribet dan birokratik.

Kehadiran BP Migas juga telah menciptakan inefisiensi yang sistemik karena organisasi BP Migas didesain tanpa adanya Dewan Komisaris/Majelis Wali Amanat. Ini diperburuk oleh sistem yang tak akuntabel dan tak transparan. Padahal, BP Migas mengontrol cost recovery yang dibayar negara ke perusahaan asing yang nilainya kini sekitar 18 miliar dollar AS (Rp 170 triliun) per tahun serta aset berupa alat-alat/benda modal yang dibeli dari dana cost recovery yang nilainya menurut KPK sekitar Rp 115 triliun. Semua itu keberadaannya juga tidak jelas.

Keputusan pembubaran

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com