Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Inggris Ingin Jadi "Bangsa Pedagang" Lagi

Kompas.com - 24/11/2012, 23:18 WIB

KOMPAS.com - Suatu ketika Inggris pernah merajai perniagaan dunia. Saudagar-saudagar dari negeri kerajaan itu menyebar ke seluruh penjuru dunia unutuk berniaga. Mereka pun menikmati kemakmuran dari perdagangan tersebut. Sehingga orang Inggris pun menyebut, dirinya sebagai "bangsa pedagang."

Namun nampaknya hal terhenti. Bahkan, menurut CEO United Kingdom Trade & Investment (UKTI), Nick Baird, dalam 40 tahun terakhir Inggris mengalami defisit dalam perdagangannya.

Terlebih saat ini, dampak krisis ekonomi tahun 2008-2009 masih mendera kawasan zona euro dan Amerika Serikat yang merupakan partner Inggris dalam melakukan perdagangan.

Negara asal sepakbola ini pun bebenah. Baird menyatakan, Inggris ingin menjadi "Bangsa Pedagang" lagi. " Kami ingin menjadi bangsa pedagang yang lebih baik lagi sebagaimana sejarah sebelumnya," ucapnya saat menerima kunjungan para wartawan dari Asia Tenggara, beberapa waktu lalu.

Pemerintah Inggris menyadari, untuk kembali berjaya, memerlukan awal baru. Mereka harus melakukan restrukturisasi fundamental perekonomian. Baird menjelaskan, terdapat tiga faktor fundamental yang diperlukan Inggris, yakni menyeimbangkan neraca perdagangan dengan ekspor dan foreign direct investment, kemudian mencari pasar baru yang lebih besar seperti Asia, Amerika Latin dan Afrika, serta menyeimbangkan sektor jasa dengan manufaktur, maklum saja saat ini Inggris dikenal sebaga pusat finansial terbesar di dunia.

Untuk hal ekspor, Inggris menargetkan pada tahun 2020 nilai ekspornya bisa naik dua kali lipat dibanding saat ini yang "hanya" 450 miliar pound, menjadi 1 triliun pound.

"Jika hal itu tercapai berarti kontribusi ekspor terhadap PDB Inggris akan lebih dari 40 persen, dibanding saat ini yang 30 persen.  Itu merupakan peningkatan yang besar. Tapi itu yang dicapai oleh Jerman saat ini," ucap Baird.

Untuk mencapai target tersebut, UKTI sebagai instansi yang berkaitan dengan investasi, berusaha menggenjot perusahaan Inggris yang melakukan ekspor menjadi 100.000 perusahaan. "Saat ini baru seperlimanya," tambah Baird.

UKTI pun merancang rencana, antara lain dengan meluncurkan national export challenge yang merupakan kampanye nasional yang masif agar perusahaan melakukan ekspor.

Selain itu, pihaknya juga mendukung perusahaan-perusahaan yang akan melakukan ekspor baik yang masih kecil maupun yang sudah besar. "Seperti bekerjasama dengan perusahaan merancang strategi ekspor, memilih negara mana untuk melalui ekspor, melakukan riset pasar, mengkaji peraturan dan hukum yang negara ekspor, hingga mencarikan partner yang cocok di negara tujuan ekspor," papar mantan duta besar Inggris untuk Turki ini.

Tak tanggung-tanggung, UKTI juga bahkan memberikan subsidi kepada perusahaannya yang baru memulai ekspor.

Sementara di dunia maya, UKTI juga melakukan meluncurkan kampanye untuk mendukung ekspor online. Saat ini, berdasarkan data UKTI,  ternyata baru 14 persen perusahaan Inggris yang melakukan penjualan produknya melalui internet.

Sementara di domestik, Inggris juga memperkuat sektor manufakturnya, dengan fokus terhadap 9 spesifik sektor, yakni aerospace, otomotif, perkeretaapian, life scientist, kreatif, perusahaan teknologi, edukasi, kontruksi, serta profesional keuangan.

Baird menjelaskan, sektor-sektor tersebut bakal terus ditopang dengan berbagai dukungan, seperti insentif pajak, membangun pusat riset, mengembangkan unversitas riset dan sebagainya. "Kami juga membuat sebuah organisasi yang bernama catapult center, sebagai fasilitas untuk riset teknologi tinggi," paparnya.

Inggris yang terkenal sebagai pusat pendidikan ini, berusaha membangun sinergi dari universitas, riset dan industri. Antara lain dengan mendirikan Manufacturing Technology Centre (MTC) di Convetry, sekitar 2 jam berkendaraan dari London.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com