Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Bakal Melakukan "Hedging" Utang Valas

Kompas.com - 28/01/2013, 10:14 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah tak mau terus tekor gara-gara fluktuasi nilai tukar. Maka dari itu, pemerintah akan melakukan hedging atau transaksi lindung nilai atas instrumen utang pemerintah, baik dalam bentuk pinjaman maupun surat berharga negara.

Payung hukum hedging utang pemerintah itu sudah terbit, 4 Januari 2013. Bentuknya berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 12 Tahun 2013 tentang Transaksi Lindung Nilai dalam Pengelolaan Utang Pemerintah.

Lewat beleid ini, pemerintah berharap, pembayaran utang luar negeri tak terganggu pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat. Baik pembayaran cicilan pokok utang maupun bunga.

Rencana hedging utang pemerintah ini tak main-main. Bahkan, Kementerian Keuangan (Kemkeu) menyiapkan unit khusus hedging utang di bawah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kemkeu. Unit ini menjadi semacam unit tresuri di perbankan yang bertugas untuk masuk pasar valuta asing.

Unit khusus ini terdiri dari komite risiko pengelolaan utang (KRPU); unit pengelola risiko utang (UPRU); unit pelaksana transaksi (UPT); unit pelaksana setlement dan pencatatan (UPSP). Setiap unit dipimpin pejabat eselon II setingkat direktur.

Telisa Aulia, ekonom EC- Think melihat positif beleid ini. Apalagi porsi utang valas pemerintah saat ini juga masih cukup besar.

Tentu saja, beleid hedging utang ini bak pisau bermata dua. Pemerintah juga harus bersiap menanggung risiko yang tinggi, terutama jika terjadi rugi kurs. Apalagi, seluruh beban dan risiko hedging ini akan ditanggung APBN tahun berjalan.

Aturan ini juga berpotensi memicu spekulasi terhadap rupiah makin tinggi. Alih-alih  rupiah stabil, yang ada mata uang garuda makin memble.

Karena itu, ekonom Sustainable Development Indonesia, Dradjad Hari Wibowo mengingatkan, unit tresuri pemerintah harus cermat menghitung risiko, sehingga meminimalkan risiko kerugian kurs bagi negara. "Hedging biasanya mengarah ke spekulasi. Pemerintah tak perlu profit dari hedging, tapi mengurangi risiko," kata dia, kemarin (27/1/2013).

BPK harus sepaham
Ia juga mengingatkan, sebisa mungkin kebijakan pemerintah ini tidak menimbulkan kerugian besar. Sebab, aturan lindung nilai ini masih abu-abu. Salah-salah, beleid yang  bertujuan mengurangi risiko kerugian kurs, malah dianggap merugikan negara.

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Destry Damayanti menimpali, perlu ada pengertian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa dalam hedging ini ada biaya dan bisa juga memicu kerugian. Pengertian  BPK ini penting agar kerugian akibat hedging tidak dianggap  merugikan negara (korupsi).

Dalam hedging ini, pemerintah akan membuat perjanjian dengan counterparty. Nah, konsekuensi dari perjanjian ini, pemerintah tetap harus membayar sesuai dengan kontrak  meski pada posisi loss dalam transaksi lindung nilai tersebut.

Agar hedging akurat, Destry menyarankan, pemerintah menyusun kriteria ambang batas dengan perhitungan yang tepat. Misal, tiap dollar AS naik 1 persen-2 persen, pemerintah harus waspada, dan membuka opsi transaksi lindung nilai. (Herlina KD, Agus Triyono, Syamsul Ashar/Kontan)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

BTN Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan D3 dan S1, Simak Kualifikasinya

Work Smart
Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Ada Gempa Garut, Kereta Cepat Whoosh Tetap Beroperasi Normal

Whats New
Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Akhirnya, Bea Cukai Bebaskan Bea Masuk Alat Belajar SLB yang Tertahan Sejak 2022

Whats New
Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Sri Mulyani Minta Ditjen Bea Cukai Perbaiki Layanan Usai 3 Keluhan Terkait Pelayanan Viral di Medsos

Whats New
Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Menuju Indonesia Emas 2045, Pelaku Usaha Butuh Solusi Manajemen SDM yang Terdigitalisasi

Whats New
Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Jadi Sorotan, Ini 3 Keluhan Warganet soal Bea Cukai yang Viral Pekan Ini

Whats New
Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Perhitungan Lengkap Versi Bea Cukai soal Tagihan Rp 31 Juta ke Pembeli Sepatu Seharga Rp 10 Juta

Whats New
Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Berapa Gaji dan Tunjangan Pegawai Bea Cukai Kemenkeu?

Work Smart
Dukung 'Green Building', Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Dukung "Green Building", Mitsubishi Electric Komitmen Tingkatkan TKDN Produknya

Whats New
Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Kemenhub Cabut Status 17 Bandara Internasional, Ini Alasannya

Whats New
Kinerja Pegawai Bea Cukai 'Dirujak' Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Kinerja Pegawai Bea Cukai "Dirujak" Netizen, Ini Respon Sri Mulyani

Whats New
Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Pembatasan Impor Barang Elektronik Dinilai Bisa Dorong Pemasok Buka Pabrik di RI

Whats New
Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Sukuk Wakaf Ritel adalah Apa? Ini Pengertian dan Karakteristiknya

Work Smart
Viral Mainan 'Influencer' Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Viral Mainan "Influencer" Tertahan di Bea Cukai, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru Pada Minggu 28 April 2024

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com