Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/04/2013, 07:26 WIB

KOMPAS.com -   Konsultasi Amerika Serikat dengan Indonesia di forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), terkait keberatan AS pada kebijakan pengaturan impor daging (meliputi daging sapi dan unggas) dan hortikultura oleh Indonesia, telah selesai. AS masih menunggu sikap Indonesia.

Saat ini AS belum mengajukan pembentukan panel melalui sidang Dispute Settlement Body WTO karena per 26 Maret 2013 belum masuk dalam agenda.

Kalau Indonesia menyerah dan begitu saja mengubah kebijakan yang dianggap AS tak sejalan dengan aturan WTO, sikap keberatan AS akan berhenti di sini. Dengan kata lain, sengketa tidak akan masuk sampai panel. Sambil menunggu sikap Indonesia, AS tentu menyiapkan pengacaranya sekitar 200 orang. Mereka ini yang kerap disewa AS menghadapi sengketa. Sebagian di antaranya terlibat dalam perumusan aturan WTO.

Lewat forum konsultasi sebelumnya, AS sebenarnya ingin melakukan penyelidikan atas Indonesia untuk memperkuat dugaan-dugaan mereka, terkait apakah benar Indonesia melarang impor daging dan hortikultura. Karena itu, pertanyaan tertulis oleh AS acap kali mengulang-ulang dan penuh jebakan.

Apa langkah selanjutnya kalau AS mendaftarkan itu dalam panel WTO? WTO akan menunjuk hakim-hakim yang akan menangani perkara itu. Bayangkan seperti di ruang persidangan. Para pengacara yang ditunjuk kedua negara akan adu argumentasi, hakim yang akan memutuskan perkaranya.

Masuknya sengketa perdagangan dalam panel WTO bukan merupakan momok. Setidaknya sejak WTO ada tahun 1995, baru ada lima kasus yang terkait Indonesia baik sebagai penggugat maupun digugat. Bandingkan dengan AS yang digugat 119 kasus dan menggugat 105 kasus.

Melihat banyaknya kasus yang disengketakan, AS sebenarnya punya kecenderungan lebih banyak menyiasati aturan WTO dibandingkan Indonesia. Di WTO Indonesia ”anak mami”.

Kalaupun hakim panel WTO memutuskan Indonesia salah, tidak ada pasal yang bisa memberikan sanksi bagi Indonesia kalau tidak menjalankan keputusan panel, karena panel hanya meminta Indonesia menyesuaikan dengan aturan WTO.

Penyesuaian aturan WTO tidak bersifat memaksa. Lihat saja kasus sengketa rokok kretek yang diajukan Indonesia terkait kebijakan AS. Meski panel menyatakan AS salah, sampai saat ini AS membandel dan belum mau mengubah kebijakannya.

Ketika nantinya Indonesia kalah, Indonesia bisa mengabaikan putusan panel. Namun, Pemerintah AS juga berhak mengajukan retalisasi atau tindakan balasan. Retalisasi dan nilai kerugian yang dimintakan harus atas persetujuan WTO, dan besarannya sesuai kerugian yang ditimbulkan akibat kebijakan Indonesia terkait impor daging dan hortikultura.

Retalisasi dengan melarang produk impor Indonesia. Pilihan jenis komoditas yang akan dijadikan sebagai ”senjata balasan” sangat penting karena jangan sampai merugikan perekonomian AS, tetapi yang efeknya dirasakan Indonesia.

Sambil menunggu sengketa berjalan dari pembentukan panel sampai retalisasi, yang bisa memakan waktu dua tahun, ada peluang bagi Indonesia untuk memperbaiki daya saing komoditas dalam negeri.

Dengan kata lain, boleh saja kita melanggar aturan WTO asal ketika negara yang dirugikan melakukan pembalasan, perekonomian kita tidak terpengaruh signifikan. Kuncinya meningkatkan daya saing dan memproduksi barang ekspor yang tidak ada/tidak banyak substitusinya. (HERMAS E PRABOWO)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com