Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lai Moi, Tekad Meningkatkan "Derajat" Cendol

Kompas.com - 03/08/2013, 15:56 WIB


Oleh: Antony Lee
KOMPAS.com -
  Lai Moi (54) yang mengetahui suaminya begitu suka cendol mencoba membuat cendol yang lebih sehat dan higienis. Ia yakin minuman tradisional ini bisa naik ”derajat” dari minuman yang dijajakan di tepi jalan menjadi primadona di pusat perbelanjaan. Usahanya tak sia-sia. Cendol de Keraton yang dirintisnya lima tahun lalu kini dijajakan di 60 gerai di wilayah Jabodetabek, Bandung, dan Semarang.

Dari 60 gerai tersebut, 20 di antaranya milik Lai Moi, sedangkan 40 lainnya milik mitra yang membeli lisensi waralaba. Tenaga kerja yang direkrutnya pun tak sedikit. Di rumah produksi cendol dan 20 gerai cendol miliknya, Lai Moi mempekerjakan 40 orang. Sementara setiap gerai mitra rata-rata dijaga 1-2 pegawai.

Model kemitraan yang dikembangkan Lai Moi tak sulit. Mitra berinvestasi Rp 6 juta, lalu mereka mendapat berbagai peralatan untuk berjualan serta bonus gratis 50 sajian pertama.

Selain itu, mereka juga membeli cendol dari Lai Moi dengan harga lebih rendah daripada harga pasar, yakni Rp 4.500 per gelas. Sementara di pasaran, Cendol de Keraton dijual dengan kisaran Rp 9.000-Rp 14.000 per gelas, tergantung dari pilihan rasa. Ia menawarkan cendol orisinal, nangka, durian, float, dan yang terbaru jahe.

”Rata-rata penjualan sehari sekitar 1.000 gelas untuk wilayah Jabodetabek dan Bandung. Kalau akhir pekan, biasanya penjualan sedikit meningkat,” kata Lai Moi, Juli lalu, di rumah produksi Cendol de Keraton.

Rumah produksi itu berada di kawasan perumahan elite di Bogor Timur, Kota Bogor. Biaya sewa rumah pun didapatkan dari keuntungan penjualan cendol. Tiap hari para pekerja dua kali memproduksi cendol, pagi sekitar pukul 06.00 dan selepas tengah hari. Hal ini dia lakukan agar kesegaran cendol tetap terjaga.

Lai Moi cukup teliti memperhatikan proses produksi, mulai dari pembuatan cendol, pemerasan santan, hingga pengemasan cendol dan santan dalam kemasan ukuran per gelas. Pekerja yang bersentuhan langsung dengan minuman itu diwajibkannya menggunakan masker untuk menjaga higienitas cendol.

Memulai dari nol

Sebelum merintis usaha ini lima tahun silam, Lai Moi jauh dari dunia usaha makanan. Ia puluhan tahun bekerja di industri garmen. Awalnya, dia bekerja di salah satu perusahaan garmen milik investor Taiwan di Bogor.

Namun, pada 1996, ia dan suaminya yang juga bekerja di perusahaan yang sama memutuskan membangun usaha garmen bersama rekanan asal Taiwan. Namun, empat tahun kemudian, dia memutuskan hengkang dari perusahaan itu karena perselisihan usaha.

Setelah itu, suami Lai Moi, Agus Wiyono (52), berusaha menjual kristal. Mereka membuka gerai di Sukasari, Bogor Timur. Namun, penghasilan dari berjualan kristal tak menentu karena peminatnya terbatas pada mereka yang gemar dan tahu mengenai kristal.

Selama lima tahun mereka bertahan di bidang usaha tersebut. Suatu ketika, sang suami mengajak Lai Moi menyantap cendol. Ia menjadi terpikir untuk memulai usaha cendol. Kebetulan dia mendapat resep membuat cendol dari seorang kenalan.

”Suami saya mendukung karena sense bisnisnya juga bilang bidang ini bakal bagus. Ini bisa jadi uang,” ujarnya.

Namun, usaha itu tak berlangsung mudah. Lai Moi berkali-kali gagal. Ia belum pernah membuat cendol sebelumnya dan hanya berpedoman pada resep. Ia tak mau menggunakan pewarna buatan.

Oleh karena itu, untuk mendapatkan warna hijau cendol, dia menggunakan daun sari suji. Awalnya daun suji untuk cendol dia dapat dari tanaman pagar tetangga. Namun, setelah kebutuhan daun suji cukup banyak, dia menyewa lahan seluas 1.000 meter persegi di Ciherang, Kabupaten Bogor, untuk ditanami suji.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com