Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seperlima Utang Valas Swasta Rawan Macet

Kompas.com - 26/08/2013, 08:57 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com -
Melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat masih berpotensi menyulut utang macet dalam bentuk valuta asing. Apalagi Bank Indonesia (BI) mensinyalir, sekitar 20 persen-22 persen utang luar negeri swasta nasional atau senilai  26,8 miliar dollar AS–29,5 miliar dollar AS, belum memiliki backup lindung nilai atawa hedging.

BI telah mengingatkan swasta pemilik utang tersebut agar segera melakukan hedging agar terhindar masalah saat dollar terus menguat. Apalagi saat ini ketidakpastian di pasar global masih terus berlanjut terutama menghadapi spekulasi kelanjutan stimulus ekonomi dari bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (Fed).

Sebelumnya, berdasarkan pantauan BI, hanya 15 persen dari total utang swasta yang tidak disertai hedging. "Sekarang yang belum melakukan natural hedging antara 20 persen-22 persen dari total utang," kata Agus Martowardojo, Gubernur BI, akhir pekan lalu.

Berdasarkan catatan BI, utang jatuh tempo Indonesia pada semester II-2013 mencapai 27,78 miliar dollar AS. Adapun  komposisi utang yang jatuh tempo terdiri dari swasta sebesar 22,27 miliar dollar AS dan utang pemerintah senilai 5,51 miliar dollar AS.

Peringatan BI ini agar swasta bersiap dan tak menghadapi masalah pembayaran utang akibat pelemahan rupiah. Maklum, hingga akhir pekan lalu, di pasar spot akhir pekan lalu rupiah mencapai Rp 11.058 per dollar Amerika Serikat. Padahal awal tahun ini, mata uang garuda ini masih bertengger di posisi Rp 9.795 per dollar AS. Artinya, rupiah sudah tergerus 13 persen.

Peringatan BI ini juga patut dicamkan. Sebab, berdasarkan data statistik utang luar negeri Indonesia, posisi utang Indonesia per Juni 2014 mencapai 257,98 miliar dollar AS atau setara Rp 2.841 triliun. Komponen terbesar dari utang swasta sebesar 133,988 miliar dollar AS.

Jumlah utang swasta itu melejit dibanding posisi awal tahun. Januari 2013, posisi utang luar negeri swasta hanya 126,245 miliar dollar AS. Itu artinya  naik 6,13 persen hingga Juni 2013.

Lonjakan utang plus goncangan di pasar valuta itulah yang membuat khawatir Bank Indonesia. Sebab, situasi ini bisa memicu gagal bayar. Apalagi bagi perusahaan pemilik utang valuta asing yang hanya mengandalkan pendapatan dalam bentuk rupiah.

Walau BI cemas, Menteri Keuangan Chatib Basri mengaku tidak khawatir dengan rasio utang tersebut. Dia yakin pembayaran bunga utang pemerintah dan swasta akan berjalan baik.

Sebagai catatan, tahun depan pemerintah menargetkan posisi utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 22 persen. Kini, rasio utang terhadap PDB total utang Indonesia sekitar 23 persen.

Tapi, yang patut diperhatikan,  jika diukur dengan debt to services ratio (DSR) atau rasio kemampuan membayar utang, sejatinya DSR posisi Indonesia sudah mencapai 41,4 persen. Ini adalah rasio yang mengkhawatirkan. Sebab, batas wajar DSR adalah 30 persen.

Kepala Pusat Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) A. Tony Prasetiantono menyarankan agar swasta maupun pemerintah segera merestrukturisasi utang tersebut lebih awal ketimbang menunggu macet. "Prosesnya kan tinggal negosiasi saja dengan kreditur. Itu pernah dilakukan di tahun 2008," katanya.

Lebih penting lagi, pemerintah dan Bank Indonesia harus terbuka dan sigap untuk mengantisipasi datangnya krisis ekonomi maupun krisis moneter. Ini adalah langkah paling ampuh mencegah potensi kejadian utang valas berubah jadi utang macet. (Anna Suci Perwitasari, Asep Munazat Zatnika)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com