Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketimbang Mobil Murah, Masyarakat Pilih Perbaikan Transportasi Umum

Kompas.com - 13/09/2013, 16:43 WIB
Rahmat Fiansyah

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Kebijakan mobil murah yang digulirkan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Perindustrian, menimbulkan reaksi negatif bagi sebagian kalangan pengguna transportasi umum di Jakarta.

Selain menambah kemacetan, masyarakat juga menilai pemerintah seharusnya memperbaiki transportasi publik. "Saya enggak setuju ya dengan kebijakan mobil murah dari pemerintah, apalagi diterapkan di kota-kota besar kayak Jakarta," ujar Ryan (24), salah satu karyawan swasta di Jakarta, Jumat (13/9/2013).

Pria yang berkantor di kawasan Sudirman tersebut biasa menggunakan Trans Bintaro Jaya dari tempat tinggalnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Jawa Barat. Menurutnya, selain memperparah kemacetan, keberadaan mobil murah dapat juga dapat membuat anggaran subsidi BBM membengkak di tengah defisitnya anggaran belanja negara.

Ia menambahkan, pemerintah sebaiknya fokus membenahi transportasi publik yang layak, efektif, dan efisien bagi masyarakat luas. "Satu hal lagi, yang paling diuntungkan dari mobil murah ini kan korporat otomotif," katanya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Arif (24). Karyawan swasta yang bekerja di sebuah kantor di kawasan Semanggi tersebut menyatakan tidak setuju dengan kebijakan itu.

Ia beralasan, kondisi jalan raya di Jakarta saat ini tidak lagi mampu menampung volume kendaraan yang kian bertambah, terlebih lagi pada saat jam berangkat dan pulang kantor. Dari tempat tinggalnya di Bekasi, ia mengaku menghabiskan rata-rata 2,5 jam setiap berangkat atau pulang kantor.

Ia berpendapat, daripada menerapkan kebijakan mobil murah, pemerintah lebih baik meremajakan moda transportasi umum.

"Dengan moda transportasi yang memadai, pasti orang-orang pikir-pikir untuk bawa kendaraan pribadi," katanya. Sari (22) memiliki pandangan yang serupa. Wanita yang bekerja di kawasan Mampang Prapatan itu mengaku sangat tidak setuju dengan kebijakan tersebut.

Ia menilai keberadaan mobil murah dapat memperparah kemacetan di Jakarta. Karyawan swasta yang sehari-harinya menggunakan bus transjakarta ini menilai bahwa pemerintah seharusnya memikirkan bagaimana memecahkan persoalan kemacetan di Jakarta.

"Lebih baik cari solusi kemacetan, bukannya bikin mobil murah yang buat Jakarta malah tambah macet," imbuhnya.

Awal Juni 2013, pemerintah resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang insentif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) bagi produksi mobil ramah lingkungan.

Dengan peraturan itu, mobil dengan kapasitas di bawah 1.200 cc dan konsumsi bahan bakar minyak paling sedikit 20 km per liter dapat dipasarkan tanpa PPnBM. Kebijakan ini membuat produsen mobil bisa menekan harga jual menjadi lebih murah.

Namun, kebijakan tersebut mendapat tentangan dari Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Jokowi menilai kebijakan ini hanya akan menambah kemacetan di Jakarta. Jokowi pun sudah siap mengeluarkan kebijakan daerah untuk mengantisipasi kemacetan.

Misalnya, pengadaan bus ukuran sedang, penerapan sistem jalan berbayar, dan penerapan pelat nomor ganjil dan genap.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Chandra Asri Bukukan Pendapatan Bersih 2,15 Miliar Dollar AS pada 2023

Whats New
Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Tinjau Panen Raya, Mentan Pastikan Pemerintah Kawal Stok Pangan Nasional

Whats New
Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Kenaikan Tarif Dinilai Jadi Pemicu Setoran Cukai Rokok Lesu

Whats New
Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Puasa Itu Berhemat atau Boros?

Spend Smart
Kadin Proyeksi Perputaran Uang Saat Ramadhan-Lebaran 2024 Mencapai Rp 157,3 Triliun

Kadin Proyeksi Perputaran Uang Saat Ramadhan-Lebaran 2024 Mencapai Rp 157,3 Triliun

Whats New
Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Kebutuhan Dalam Negeri Jadi Prioritas Komersialisasi Migas

Whats New
Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Ratusan Sapi Impor Asal Australia Mati Saat Menuju RI, Badan Karantina Duga gara-gara Penyakit Botulisme

Whats New
Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Watsons Buka 3 Gerai di Medan dan Batam, Ada Diskon hingga 50 Persen

Spend Smart
Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Utang Pemerintah Kian Bengkak, Per Februari Tembus Rp 8.319,22 Triliun

Whats New
Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Heran Jasa Tukar Uang Pinggir Jalan Mulai Menjamur, BI Malang: Kurang Paham Mereka Dapat Uang Dari Mana...

Whats New
Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan 'Open Side Container'

Dongkrak Performa, KAI Logistik Hadirkan Layanan "Open Side Container"

Whats New
Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Sumbangan Sektor Manufaktur ke PDB 2023 Besar, Indonesia Disebut Tidak Alami Deindustrialisasi

Whats New
Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 29 Maret 2024, Harga Ikan Tongkol Naik

Whats New
Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Modal Asing Kembali Cabut dari RI, Pekan Ini Nilainya Rp 1,36 Triliun

Whats New
Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Kerap Kecelakaan di Perlintasan Sebidang, 5 Lokomotif KA Ringsek Sepanjang 2023

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com