Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengubah Sampah Menjadi Lahan Usaha

Kompas.com - 16/11/2013, 09:29 WIB


Rhenald Kasali ( @Rhenald_Kasali )

KOMPAS.com - Kewirausahaan pada dasarnya adalah kegiatan perubahan. Dan perubahan dengan basis kewirausahaan berawal dari pandangan bahwa setiap masalah adalah peluang.

Jadi kalau Anda suka dengan perubahan, cobalah melakukannya dengan memecahkan masalah sampah di lokasi Anda tinggal. Semua masalah perubahan ada di sana: Ya kebiasaan, masalah sosial, mindset, resistensi warga, permainan oknum aparat pemda, keterlibatan agen-agen perubahan, sampai pengorbanan, biaya dan kreativitas untuk menjadikannya peluang usaha.

Jadi ini bukan hanya masalah gubernur DKI yang lagi mumet mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas di DKI. Ini masalah semua orang lain dari Pelabuhan Malahayati di Banda Aceh,Sinabang di Pulau Siemeleu, Danau Toba, Pantai Kuta, Banjarmasin, Danau Jikumerasa di Pulau Buru sampai Manado dan Merauke. Semua kota, danau dan sungai-sungai itu telah tercemar oleh sampah. Dan yang terbanyak adalah botol plastik AMDK dan sachet shampoo.

Bila dulu 80 persen sampah adalah organik, kini sebaliknya, 80 persen sampah adalah plastik dan kemasan anorganik yang sulit diurai oleh tanah. Padahal semua itu adalah biomas, bahan bakar yang bisa dipakai buat menggerakkan PLTU, dan tungku-tungku api di berbagai pabrik yang kalorinya hanya berbeda 10-20 persen dari batubara.

Sampah Pasar

Harus diakui metode penanganan sampah kita tak ada kemajuan sejak 40 tahun yang lalu meski UU pengolahan sampah sudah harus dijalankan. Sejak 40 tahun yang silam, semua pemda hanya fokus menyangkut sampah dari pasar, yaitu pasar tradisional ke TPA yang terbuka.

Ya, hanya di pasar becek itulah kita menemukan bak besar penanganan sampah. Itupun hanya satu-dua buah bak sampah. Warga masyarakat yang tak punya tempat pembuangan pun mengorganisir diri. Membayar lewat RT/RW yang lalu mencari orang yang biasa mengangkut dengan gerobak dorong. Di sana Pemda absen, atau membiarkannya menjadi obyekan para oknum.

Sampah-sampah itu dibuang ke dalam bak semen yang terletak di bagian luar rumah, lalu petugas menyeroknya dengan menggunakan garpu besar dan pacul. Karena bingung, maka mereka pun mencari lahan-lahan kosong yang bisa dijadikan area pembuangan. Biasanya di tepi kali. Kalau hujan turun, sampah pun hanyut, lalu menumpuk di muara (Jakarta). Sebab kalau membuang di bak pasar, mereka dikenakan ongkos oleh mantri pasar.

Di pasar sendiri, daya tampungnya semakin hari semakin tak memadai. Ratusan orang bersepeda motor, setiap hari membuang satu-dua kantong plastik berisi sampah dari kampung-kampung yang tak mempunyai sistem pengangkutan sampah.

Jadi 700 truk angkut sampah di DKI itu adalah pengangkut sampah pasar saja. Lantas siapa yang mengani sampah di wilayah perumahan?

Ketua RT/RW yang cerdik pun mencari akal mendekati mobil-mobil dinas kebersihan milik pemda. Mereka melakukan deal. Keputusannya, sampah diangkut setiap hari.

Masalahnya, sekarang jalan-jalan semakin macet. Jam untuk perjalanan truk keluar-masuk dalam kota kini dibatasi. Di TPA pun truk-truk sampah harus antri, macet. Akibatnya truk-truk itu semakin lamban beroprasi dan sampah di daerah perumahan semakin tak terurus. Dari tiga rit zaman dulu, kini truk-truk sampah hanya bisa mengangkut satu rit sampah sehari.

Tapi tahukah anda, masih ada satu masalah lagi: bak semen. Ini bak sampah yang ada di depan rumah-rumah kita. Bak itu tak bisa diangkat seperti layaknya bak-bak pelastik. Jadi perlu waktu untuk memindahkannya ke dalam truk.

Seorang teman pernah berhitung. Ternyata perlu waktu 6 menit untuk mengorek habis sampahnya dan diangkut. Jadi dengan perjalanan keliling perumahan, dalam 1 Jam, paling banyak hanya sampah dari 10 buah rumah yang bisa diangkut. Kalau petugas beroperasi 4 jam, artinya hanya separuh RT (40 KK) yang sampahnya bisa diangkut. Sekarang anda mengerti bukan, mengapa sampah-sampah anda hanya diangkat seminggu sekali.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com