"Kelihatannya sepele. Kayu ini ditebang di pohon nomor berapa blok hutan nomor berapa. Kayu yang dipotong diberi nomor, lalu ini kayu mau dibuat apa saja. Kayaknya gampang mengikuti itu. Tapi nyatanya banyak perusahaan yang merasa ini rumit sekali untuk melakukan lacak balak," kata Gunawan, di Solo, Rabu (11/12/2013).
Pengusaha pengolah kayu harus bisa menunjukkan bukti-bukti bahwa kayu yang ditebang berasal dari pohon dan blok hutan yang diperbolehkan dalam aturan tersebut. Mereka pun juga harus bisa membuktikan secara administratif, dan memenuhi berbagai sertifikasi.
Akibatnya, kata Gunawan, banyak perusahaan yang belum bisa mendapatkan sertifikasi SVLK. Nagabhuana sendiri baru bisa mengantongi sertifikasi pada awal tahun ini.
"Jadi, dengan semakin ketatnya peraturan-peraturan, saya rasa tantangannya semakin sulit," pungkasnya.
Sebagai informasi, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No P.38/2009 jo P.45/2012 tentang Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL).
Sertifikasi PHPL dan VLK tersebut bertujuan untuk memastikan pengelolaan hutan secara legal dan lestari. SVLK dan PHPL juga menjadi penting untuk menekan aktivitas lajunya pengerusakan hutan alam sebagai akibat dari pembalakan kayu atau sumber bahan baku yang tidak jelas asal usulnya.
Selama rentang 2007-2011 negara menganggung kerugian sekira 7 miliar dollar AS, akibat pembalakan liar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.