Menurut Chatib Basri, setelah bank sentral AS, Federal Reserve mengurangi stimulus moneternya, banyak negara-negara berkembang terpaksa melakukan berbagai penyesuaian.
"Dalam seminggu terakhir, investor menggolongkan negara kita ke dalam fragile five (Turki, India, Brazil, Indonesia, dan Afrika Selatan). Namun, tekanan pada rupiah more or less stabil. Kita berada pada kisaran Rp 12.100 hingha Rp 12.200," kata Chatib di Jakarta, Selasa (4/2/2014).
Chatib memberi contoh beberapa negara telah mengambil langkah menaikkan suku bunga untuk mengantisipasi gejolak nilai tukar, seperti Turki yang menaikkan 425 basis poin dan India 200 basis poin. BI pun telah mengantisipasi hal ini dengan menaikkan suku bunga acuan.
"BI (Bank Indonesia) sudah preventif sejak Juni. Kita sudah mengambil langkah sejak paket Agustus. Setiap langkah yang dilakukan pertanyaan di hari berikutnya adalah rupiah kenapa belum kuat. Kebijakan bukan obat gosok di pinggir jalan yang ketika digosokkan akan serasa hangat dan penyakit sembuh seketika," ujar dia.
Dampak dari kebijakan antisipatif yang diambil BI dan pemerintah, lanjut Chatib, baru terasa sekitar 4 bulan setelahhya. Ini terlihat dari data surplus neraca perdagangan Indonesia yang terlihat dalam 3 bulan terakhir.
"Alhamdulilkah 4 bulan setelah kombinasi policy BI dan pemerintah 3 bulan terakhir neraca perdagangan kita surplus 42 juta dollar AS di Oktober, November 776 juta dollar AS, dan Desember 1,52 miliar dollar AS. (Secara keseluruhan) kita punya surplus 2,3 miliar dollar AS. Dengan ini defisit transaksi berjalan akan jauh di bawah perkiraan awal," jelas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.