Direktur Utama Dahana, Hary Sampoerno mengatakan, tahun lalu Dahana memproduksi sekitar 56.000 ton handak dengan bahan dasar amoniak nitrat. Sementara, kebutuhan nasional diperkirakan tak kurang dari 300.000 ton. "Pesaing kita ada perusahaan handak besar dunia, yaitu Orica asal Amerika Serikat dan Australia. Dia perusahaan yang besarnya 100 kali Dahana. Dan Dyno, juga asal Amerika Serikat," kata Hary, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (14/3/2014).
Hary mengatakan, kedua raksasa pembuat bom itu sangat diuntungkan dengan banyaknya perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Indonesia. Belum lagi kata dia, importasi bahan peledak yang cukup besar menjadikan kompetisi kian sengit.
Sejak berdirinya, aku Hary, Dahana belum pernah sepeser pun mendapat suntikan berupa penyertaan modal negara (PMN). Kolapsnya industri strategis pada 1998 sempat Dahana rasakan bersama saudara-saudaranya yang lain, yakni PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, serta PT Pindad.
Namun demikian, Dahana mulai 2002 terus melakukan sejumlah transformasi agar tetap bertahan. Hary pun mengaku sedikit bangga, tanpa PMN, Dahana bisa mencetak laba hingga Rp 60 miliar tahun lalu, dan aset mencapai Rp 1,2 triliun.
"Kita enggak pernah minta fasilitas. Dan kita enggan cengeng, meskipun saingan kita raksasa-raksasa besar," katanya.
Meski tidak mengecap PMN, Hary mengakui bantuan negara satu-satunya adalah ketika Dahana pada 2010 membuat Energetic Material Centre (EMC) di Subang, di atas lahan seluas 600 hektar.
Dia menambahkan, bantuan pemerintah adalah dengan tidak lagi menarik dividen dari Dahana. "Mungkin bagi BUMN lain (dividen) itu kecil. Tapi bagi kami Rp 20 miliar is very very big," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.