Menurut Pamudji, rugi tersebut bersifat non cash alias non tunai dan membuat utang PLN terlihat naik. "Rugi kurs kita itu tiba-tiba utang kita bertambah, karena kurs berubah. Neraca utang bertambah karena utang kita dalam valuta asing, dollar AS dan yen. Begitu kurs berubah, utang kita bengkak dan neraca rugi," kata Pamudji di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jumat (25/4/2014).
Pada dasarnya, ujar dia, bila PLN tidak mau rugi kurs maka perseroan tak perlu berutang dalam bentuk valuta asing. Dana hasil berutang pun digunakan perseroan untuk membangun berbagai pembangkit listrikdi Tanah Air.
"Antisipasinya, kalau tidak mau rugi kurs ya jangan utang dalam valas, utang rupiah semua. Ini utang untuk bangun pembangkit listrik. Kalau tidak dibangun ya bisa mati lagi, pakai petromaks lagi," ujar Pamudji.
Sumber pemberi utang terbesar diakui Pamudji berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan lembaga JICA asal Jepang. Utang dari Jepang tersebut digunakan untuk membangun pembangkit listrik di Suralaya.
Adapun alasan PLN berutang dalam bentuk valuta asing lantaran pembiayaan dalam bentuk rupiah tidak mencukupi. "Kalau (utang dalam rupiah) rupiah tidak cukup ketersediaannya untuk membangun pembangkit listrik. Kapasitas rupiah kurang sekali," keluh Pamudji.
Sebagai informasi, PLN mencatat kerugian sepanjang tahun 2013 sebesar Rp 30,9 triliun. Utang jangka panjang PLN hingga akhir 2013 mencapai Rp 220 triliun sebelum diaudit. Sementara itu, jumlah utang perseroan mencapai Rp 466 triliun per 31 Desember 2013 sebelum diaudit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.