Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Bisa Ekspor, Newmont Korbankan Karyawan

Kompas.com - 08/05/2014, 13:44 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Ancaman bagi karyawan PT Newmont Nusa Tenggara. Perusahaan ini menyatakan, per Juni depan bakal merumahkan 80% atau 6.400 orang dari total 8.000 karyawan yang bergelut di operasi produksi areal tambang Batu Hijau, Sumbawa Barat. Alasannya, kapasitas gudang penyimpanan 40.000 ton mineral olahan tanpa pemurnian (konsentrat) tembaga  sudah penuh.

Kondisi gudang penyimpanan yang membeludak itu adalah efek domino dari kegiatan ekspor perusahaan yang harus terhenti. Sebab, sejak Januari lalu, pemerintah melalui Kementerian Sumber Daya Mineral (ESDM) melarang perusahaan tambang seperti Newmont Nusa Tenggara mengekspor konsentrat. Sehingga, perusahaan ini memilih mengurangi kegiatan operasi penambangan dahulu.

Secara tertulis, manajemen Newmont Nusa Tenggara telah mengeluarkan pernyataan resmi. "Pengurangan kegiatan ini tentu akan merugikan 8.000 karyawan dan kontraktor, serta ribuan orang lainnya di Sumbawa Barat yang pendapatannya bergantung pada kegiatan operasi Newmont," kata Martiono Hadianto, Presiden Direktur Newmont Nusa Tenggara, lewat siaran pers, Rabu (7/5/2014).

Memang, perumahan karyawan yang terdiri dari tenaga kerja dan kontraktor tersebut bersifat sementara hingga Newmont Nusa Tenggara mengantongi rekomendasi surat persetujuan ekspor (SPE) dari Kementerian ESDM. Namun, "Kalau hingga Desember nanti tidak ada perkembangan, manajemen bisa saja melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK)," ungkap Nasruddin, Ketua Pimpinan Serikat Pekerja-Serikat Pekerja Nasional (PSP SPN) Newmont Nusa Tenggara.

Sekadar kilas balik, meskipun Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara mewajibkan kegiatan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat dilakukan 12 Januari 2014 kemarin, pemerintah masih memberikan kelonggaran bagi Newmont Nusa Tenggara untuk tetap bisa menjual konsentrat ke luar negeri hingga 2017 depan.

Kendati diperkenankan mengekspor konsentrat, hingga sekarang, perusahaan ini belum dapat merealisasikan fasilitas kelonggaran tersebut. Perusahaan ini masih terganjal beberapa peraturan dan persyaratan, seperti pungutan bea keluar dan komitmen pembangunan pabrik pemurnian (smelter) yang mahal.

Rekomendasi SPE menunggu evaluasi

Newmont Nusa Tenggara mengaku telah mencari solusi demi tetap mendukung rencana pemerintah meningkatkan nilai tambah tembaga dalam negeri. "Meskipun, di kontrak karya (KK) telah secara tegas menjamin hak-hak kami untuk mengekspor konsentrat tembaga, serta mengatur seluruh kewajiban pajak dan bea yang harus kami penuhi," ujar Martiono.

Salah satu upaya solusi itu adalah menggelar perjanjian jual-beli bersyarat dengan calon investor yang akan membangun smelter di dalam negeri. Selain itu, Newmont juga bersedia mendepositokan jaminan kesungguhan sebesar US$ 25 juta sebagai komitmen untuk merealisasikan pembangunan smelter. Tapi, solusi ini belum membuahkan hasil.

Sementara itu, Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, telah menerima laporan dari Newmont Nusa Tenggara terkait rencana perusahaan asal Amerika Serikat ini mengurangi kegiatan produksi. "Upaya yang kami lakukan, ya, segera memproses izin ekspor," kata dia.

Sukhyar menambahkan, Kementerian ESDM belum bisa memberikan rekomendasi SPE karena masih menunggu hasil evaluasi tim independen terkait komitmen pembangunan smelter. Tak kalah penting, kementerian juga masih membahas rencana penurunan tarif bea keluar secara lintas sektor. (Muhammad Yazid)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com