Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebocoran PPN Kian Besar

Kompas.com - 12/05/2014, 15:17 WIB

JAKARTA, KOMPAS
— Potensi penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai masih bocor. Selisih antara realisasinya dan konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang utama produk domestik bruto masih besar. Kencenderungan kebocoran itu makin besar.

Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Irawan di Jakarta, akhir pekan lalu, menyatakan, masih ada selisih antara penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan konsumsi rumah tangga. Selisih itu terjadi karena ada potensi PPN yang tidak terjaring oleh sistem pajak.

Beberapa potensi, menurut Irawan, secara sengaja memang tidak dipungut oleh DJP. Hal ini menyangkut pengusaha kena pajak dengan skala usaha mikro dan kecil. Aturan pajak selama ini tidak mengenakan PPN untuk pengusaha yang memiliki omzet di bawah Rp 600 juta per tahun. Ambang tersebut mulai tahun 2013 dinaikkan menjadi Rp 4,8 miliar per tahun dengan catatan bagi pengusaha yang mampu dikenai pajak final 1 persen.

Namun, ada pula potensi PPN yang semestinya masuk sebagai penerimaan pajak, tetapi tidak terjaring. Hal ini antara lain disebabkan rekayasa oleh pengusaha guna memperbesar keuntungan. Modus yang paling dilakukan adalah menggunakan faktur pajak fiktif.

”Masih ada selisih. Masih ada yang belum terpungut. Hilangnya PPN kemungkinan terbesar di pengusaha kena pajak yang kecil-kecil. Ini memang secara sengaja tidak kita pungut. Faktor lainnya banyak. Antara lain bisa karena faktur fiktif,” kata Irawan.

Darussalam dari Danny Darussalam Tax Center berpendapat, penyebab besarnya selisih PPN dan potensinya dari konsumsi rumah tangga disebabkan dua faktor. Pertama adalah faktor adanya ambang batas omzet pengusaha kena pajak yang tidak dikenai pajak. Hal ini adalah praktik lazim di sejumlah negara dengan pertimbangan keadilan.

Namun, yang menjadi persoalan adalah faktor kedua, yakni banyaknya obyek pajak yang dikecualikan dari PPN. Di Indonesia, menurut Darussalam, daftarnya terlalu banyak.

”Pengecualian dalam PPN, ini yang sebenarnya menjadi masalah. Kalau ini dibatasi, penerimaan PPN akan menjadi lebih besar,” kata Darussalam.

Penerimaan PPN selama ini menjadi penyumbang terbesar kedua dalam struktur penerimaan pajak setelah Pajak Penghasilan.

Konsumsi rumah tangga menjadi penyumbang terbesar PDB. Kisarannya 50-55 persen. Namun, sejak tahun 2004 sampai dengan 2013, realisasi penerimaan PPN terhadap produk domestik bruto (PDB) terus berfluktuasi dengan kisaran mulai 3,44 persen sampai dengan 4,47 persen. Ironisnya, rasio terbesar justru terjadi pada tahun 2004, yakni 4,47 persen. Sebagai perbandingan, di negara Thailand rasionya mencapai 5 persen.

Pada tahun 2012, misalnya, PDB Indonesia mencapai Rp 8.242 triliun. Konsumsi rumah tangga menyumbang Rp 4.496,4 triliun di antaranya atau 54,56 persen.

Jika PPN besarnya adalah 10 persen, idealnya penerimaan PPN pada tahun tersebut adalah Rp 449,64 triliun. Kenyataannya, realisasi penerimaan PPN adalah Rp 337,41 triliun. Artinya, masih ada selisih senilai Rp 112,24 triliun.

Demikian pula pada tahun 2013, dengan konsumsi rumah tangga senilai Rp 5.071 triliun atau 55,82 persen terhadap PDB. Idealnya penerimaan PPN mencapai Rp 507 triliun. Namun realisasinya ternyata hanya Rp 383,4 triliun. (LAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Kebijakan Makroprudensial Pasca-Kenaikan BI Rate

Whats New
Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Peringati May Day 2024, Forum SP Forum BUMN Sepakat Tolak Privatisasi

Whats New
MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

MJEE Pasok Lift dan Eskalator untuk Istana Negara, Kantor Kementerian hingga Rusun ASN di IKN

Whats New
Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong Sebagai Presdir Baru

Great Eastern Life Indonesia Tunjuk Nina Ong Sebagai Presdir Baru

Whats New
Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Dukung Kemajuan Faskes, Hutama Karya Percepat Pembangunan RSUP Dr Sardjito dan RSUP Prof Ngoerah

Whats New
Bantuan Pangan Tahap 2, Bulog Mulai Salurkan Beras 10 Kg ke 269.000 KPM

Bantuan Pangan Tahap 2, Bulog Mulai Salurkan Beras 10 Kg ke 269.000 KPM

Whats New
Menperin: PMI Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansif Selama 32 Bulan Berturut-turut

Menperin: PMI Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansif Selama 32 Bulan Berturut-turut

Whats New
Imbas Erupsi Gunung Ruang: Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup, 6 Bandara Sudah Beroperasi Normal

Imbas Erupsi Gunung Ruang: Bandara Sam Ratulangi Masih Ditutup, 6 Bandara Sudah Beroperasi Normal

Whats New
Jumlah Penumpang LRT Jabodebek Terus Meningkat Sepanjang 2024

Jumlah Penumpang LRT Jabodebek Terus Meningkat Sepanjang 2024

Whats New
Hingga Maret 2024, BCA Syariah Salurkan Pembiayaan ke UMKM Sebesar Rp 1,9 Triliun

Hingga Maret 2024, BCA Syariah Salurkan Pembiayaan ke UMKM Sebesar Rp 1,9 Triliun

Whats New
Antisipasi El Nino, Mentan Amran Dorong Produksi Padi NTB Lewat Pompanisasi

Antisipasi El Nino, Mentan Amran Dorong Produksi Padi NTB Lewat Pompanisasi

Whats New
Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru pada Jumat 3 Mei 2024

Harga Emas ANTAM: Detail Harga Terbaru pada Jumat 3 Mei 2024

Spend Smart
Keberatan Penetapan Besaran Bea Masuk Barang Impor, Begini Cara Ajukan Keberatan ke Bea Cukai

Keberatan Penetapan Besaran Bea Masuk Barang Impor, Begini Cara Ajukan Keberatan ke Bea Cukai

Whats New
Ada Penyesuaian, Harga Tiket Kereta Go Show Naik per 1 Mei

Ada Penyesuaian, Harga Tiket Kereta Go Show Naik per 1 Mei

Whats New
Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BNI hingga Bank Mandiri

Simak Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BNI hingga Bank Mandiri

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com