Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banyak Peluang, Jangan Disia-siakan!

Kompas.com - 02/06/2014, 20:45 WIB

KISAH-kisah yang termaktub di dalam kitab suci bukanlah dongeng. Tak sedikit yang telah dijadikan sebagai landasan pengembangan teori ekonomi. Salah satunya adalah kisah Nabi Yusuf yang menginspirasikan teori siklus bisnis. Dalam Al Kitab dan Al Quran dikisahkan Raja Mesir yang bermimpi melihat tujuh sapi kurus yang memangsa tujuh sapi gemuk serta tujuh bulir gandum yang hijau dan bernas serta tujuh bulir gandum yang kering dan kopong.

Hanya Nabi Yusuf yang mampu menakbirkan mimpi raja yang menggambarkan bakal terjadi tujuh tahun masa sulit (paceklik). Sebelum tiba masa itu, tatkala iklim sedang baik, Nabi Yusuf meminta rakyat Mesir bercocok tanam sebaik-baiknya dan tidak berfoya-foya menghabiskan hasil panen yang melimpah. Hasil panen ditabung kecuali sedikit yang dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Ternyata benar terjadi masa paceklik. Namun, rakyat Mesir tidak mengalami kesulitan karena mampu hidup dari tabungan mereka. Tabungan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup selama masa paceklik, tetapi juga bisa memenuhi kebutuhan rakyat sejumlah negeri sekitar. Keuntungan berganda dinikmati rakyat Mesir.

Seharusnya kita malu karena tak kunjung mau belajar dari kisah ribuan tahun silam. Tatkala harga komoditas menjulang, negara memperoleh hasil pajak yang melonjak, semua dibelanjakan untuk hal yang bersifat konsumtif, bukannya untuk meningkatkan kapasitas produksi di masa mendatang.

Lebih parah lagi, peristiwa global kerap dijadikan biang kesalahan. Jika perekonomian dunia memburuk, dipersalahkan menjadi penyebab ekspor turun. Ketika perekonomian dunia membaik dan ekspor tetap turun, yang disalahkan harga batubara yang melorot karena pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang turun walau hanya 0,2 persen.

Sebaliknya, jika perekonomian dunia membaik dan perekonomian Amerika Serikat pulih, perumus kebijakan pun mengeluh.

Tugas pemerintah adalah untuk menjinakkan fluktuasi perekonomian karena ada konjungtur, sehingga rakyat tidak berjibaku tanpa jaring-jaring pengaman. Ketika di negara tetangga terjadi gejolak, kita harus mampu menangkap peluang.

Julukan perekonomian Thailand sebagai Teflon Economy karena bertahun-tahun bergeming menghadapi gejolak politik akhirnya pudar. Gejolak politik berkepanjangan sejak 2006 sangat terasa menekan perekonomian mereka. Sektor pariwisata yang menyumbang devisa sekitar 35 miliar dollar AS dan 10 persen produk domestik bruto pada triwulan I-2014 merosot 5 persen. Wisatawan asing turun 400.000 orang. Walau tidak separah Thailand, Malaysia juga mengalami tekanan di sektor pariwisata pasca hilangnya pesawat MH370 dan penculikan dua warga negara Tiongkok di Sabah.

Malaysia dan Thailand menyedot wisatawan asing di ASEAN masing-masing 25 juta dan 22,4 juta kedatangan pada 2012. Pada tahun yang sama, Indonesia di posisi keempat dengan 8 juta kedatangan, di bawah Singapura di posisi ketiga dengan 11,1 juta kedatangan. Pada 2013, wisatawan asing yang masuk ke Indonesia naik menjadi 8,8 juta. Dalam tiga bulan pertama tahun 2014, kedatangan wisatawan asing sudah 2,2 juta atau naik 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jika kita bisa memanfaatkan peluang emas dinamika regional, wisatawan asing ke seluruh tujuan wisata Indonesia bisa mencapai sekitar 10 juta.

Dengan menggunakan data pengeluaran rerata wisatawan asing Januari-Maret 2014 sebesar 1.110 dollar AS, devisa yang diperoleh dari turis asing pada 2014 bakal mencapai lebih dari 11 miliar dollar AS.

Tensi politik yang meninggi antara Jepang dan Tiongkok serta ketegangan yang meningkat di Laut Tiongkok Selatan, terutama Vietnam dan Filipina, menambah peluang Indonesia meraup penanaman modal asing langsung.

Sejak 2013, Indonesia sudah menjadi negara paling menjanjikan bagi perusahaan manufaktur Jepang yang beroperasi di luar negeri. Sebelumnya, Tiongkok selalu di posisi puncak. Posisi Thailand juga selalu lebih tinggi selama 2003 hingga 2011.

Sekaranglah peluang Indonesia menerima lebih banyak investasi asing di sektor industri manufaktur. Di antara industri manufaktur yang paling menonjol adalah industri otomotif. Pertumbuhan produksi mobil di Indonesia sudah hampir dua kali lipat dari Thailand. Sementara itu, pertumbuhan produksi di Thailand sejak 2009 sudah tiga kali negatif dan tahun lalu nyaris stagnan.

Ekspor mobil dalam bentuk utuh dan set completely knocked down (CKD) pada 2013 sudah mencapai 276.000 unit dan tiga bulan pertama tahun ini sebanyak 70.000 unit. Pada waktu bersamaan, impor mobil turun sehingga defisit perdagangan otomotif turun cukup signifikan.

Masih banyak lagi peluang yang terbentang di depan mata di tengah gejolak perekonomian dunia dan regional yang tak berkesudahan. Mengeluh saja hanya akan membuat kita terbawa arus tak menentu. Membuat kita semakin tak berdaulat.

Faisal Basri
Pengamat Ekonomi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com