Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dikritisi, Indikator Kebahagiaan Hanya Materi

Kompas.com - 04/06/2014, 14:37 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Tingkat kebahagiaan antarkelompok masyarakat perlu dipotret lebih jauh dalam survei Indeks Kebahagiaan Indonesia. Hal ini terutama untuk mengetahui profil psikologi masyarakat. Pengukuran yang ada dinilai cenderung menggunakan indikator kekayaan material.

Kepala Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Heruanto Hadna ketika dihubungi di Yogyakarta, Selasa (3/6/2014), mengatakan, indikator kebahagiaan yang digunakan masih didominasi faktor material semata. Sementara tingkat kebahagiaan manusia tak hanya ditentukan tingkat kesejahteraan ekonomi.

Pernyataan tersebut sebagai tanggapan atas survei indeks kebahagiaan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang dipublikasikan pada Senin kemarin.

Dalam survei BPS pada Juli 2013, indeks kebahagiaan manusia Indonesia rata-rata 65,11 dari skala 0-100. Skor 0 menunjukkan kondisi sangat tidak bahagia. Sementara skor 100 menunjukkan kondisi sangat bahagia.

”Saya tidak percaya keberhasilan secara ekonomi linier dengan kebahagiaan. Aspek-aspek ekonomi tidak selalu menjadi dasar menentukan kebahagiaan. Dari kacamata kebijakan, itu berarti pemerintah tidak cukup hanya membangun sektor ekonomi melainkan dimensi lain yang bersifat psikologis,” kata Hadna.

Ia menambahkan, faktor keadilan menjadi sangat penting dalam membangun ekonomi. Oleh sebab itu, indeks kebahagiaan antarkelompok perlu benar-benar dipotret.

”Ini yang perlu dipotret. Ke depan, aspek ini penting untuk dilihat. Dugaan saya bisa jadi indeks 65,11, kalaupun valid, akan lebih tinggi lagi kalau keadilan terpenuhi,” kata Hadna.

Wijayanti, sosiolog dari LIPI, di Jakarta, juga mengatakan, indeks kebahagiaan jangan diukur dari kekayaan material, seperti jumlah pendapatan per bulan, tetapi dari hal umum yang dirasakan seluruh lapisan masyarakat. Hal itu seperti sarana transportasi, kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Sarana umum tersebut bisa menjadi tolak ukur kepuasan dan kebahagiaan masyarakat yang hidup di Indonesia.

Ia berpendapat, masyarakat yang bahagia adalah masyarakat yang meskipun penghasilan mereka tidak terlalu tinggi, merasa diperhatikan kesejahteraannya oleh negara.

Ia mengaku terkejut karena penduduk perkotaan lebih bahagia dari pedesaan. Hal ini berkebalikan dengan anggapan bahwa pedesaan merupakan tempat yang tenang, sedangkan perkotaan dipenuhi faktor-faktor penyebab stres, seperti kemacetan dan polusi.

”Hal ini menandakan, sarana penunjang kehidupan di pedesaan tidak tertata dengan baik. Padahal, sebagian besar penduduk Indonesia hidup di pedesaan. Kalau begini, apakah masyarakat umumnya merasa bahagia?” tuturnya.

”Sejauh ini belum ada penjelasan mengenai variabel penyebab kebahagiaan tersebut,” ujar Wijayanti. (A03/A15/LAS)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com