Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Money Game" Tumbuh Subur karena Sifat Serakah

Kompas.com - 06/06/2014, 13:54 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com --
Ada tiga jenis orang yang nyemplung ke skema money game. Mereka yang serakah, orang yang tidak melek keuangan, dan orang yang kepepet butuh uang. Demikian pendapat Lukas Setia Atmaja, pengajar di Prasetiya Mulya Business School.

Jenis orang yang tidak melek keuangan dan yang kepepet butuh uang bisa disadarkan. Misalnya, masyarakat yang tidak melek keuangan bisa disadarkan dengan terus-menerus melakukan sosialisasi produk keuangan dan investasi yang legal. Yang paling susah dicari penawarnya adalah jenis orang yang serakah. Pasalnya, sifat greedy sudah ada dalam diri setiap orang. Bedanya, ada yang bisa mengendalikan, ada yang tidak. “Kalau greedy, ya, susah,” keluh Lukas.

Tiga tahun terakhir Lukas mengamati skema ponzi tak pernah lenyap dari masyarakat Indonesia. Padahal, sudah ribuan orang kehilangan uang triliunan rupiah. Ibarat pepatah, patah tumbuh hilang berganti. Satu penjaja skema ponzi kabur, tak butuh waktu lama, muncul lagi yang baru. Malah, belum kabur pelakunya, penjaja skema ponzi yang lain sudah bermunculan.

Penyebab utamanya, ya, sifat serakah tadi. Setiap ada tawaran money game baru, malah menjadi peluang bagi sebagian masyarakat untuk mencari untung. Adu cepat masuk, biar peluang untung lebih besar. Yang masuk belakangan bakal menjadi korban.

Pada akhirnya, yang masuk belakangan itu bisa jadi kembali masuk ke lingkaran setan. “Waktu dipanggil Komisi XI DPR terkait kasus GTIS (Golden Traders Indonesia Syariah), saya melihat ada korban eks Antaboga yang juga menjadi korban di situ. Jadi, ada sekelompok orang yang suka spekulatif,” kata Sardjito, Ketua Satgas Waspada Investasi.

Latar belakang orang serakah tadi bisa bermacam-macam. Ada pejabat, politisi, tentara, polisi, jenderal aktif dan yang sudah purnawirawan, bankir, karyawan bank, pegawai negeri sipil, guru, pemuka agama, buruh, petani, hingga penganggur. Mereka ada yang sekadar numpang membiakkan uang. Namun, ada pula yang naik pangkat menjadi agen, marketing, dan manajer yang memasarkan dan mempromosikan skema ponzi.

Selama masih ada orang yang serakah, skema seperti ini akan terus berkembang. Yang berbeda paling hanya kedoknya. Dulu ada PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR) yang berkedok investasi agribisnis. Lalu ada Koperasi Langit Biru yang berkedok investasi daging sapi. Tak lama, muncul GTIS dan sejenisnya, yang dengan licik menggunakan topeng investasi emas.

Belakangan muncul Eastcape Mining Corporation (ECMC) yang memakai kedok penjualan saham pra-IPO (initial public offering). Masih seputar saham, ada Virgin Gold Mining Corporation (VGMC) yang menawarkan convertible preferred stocks. Eh, belum lepas dari ingatan publik soal triliunan rupiah duit masyarakat yang digondol VGMC dan ECMC, muncul Index Golden Bird yang mengusung skema serupa.

Pidana turut serta

Para pencari keuntungan dari skema haram ini sejatinya juga bisa dijerat dengan ancaman hukuman pidana. Jadi bukan cuma aktor utama money game yang terancam masuk bui.

Masyarakat yang berperan sebagai agen dan pemasaran yang memasarkan dan mempromosikan juga bisa ditindak. Rujukan hukum tindakan ini adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Bab V soal penyertaan dalam tindak pidana sudah mengatur hal itu.

Pasal 55 KUHP menyebutkan, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan dapat dipidana sebagai pelaku tindak pidana.

Sementara dalam Pasal 56 menyebutkan, mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan dan mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan dapat dipidana sebagai pembantu kejahatan.

Artinya, masyarakat yang bertindak sebagai pemasar, konsultan, leader, manajer, atau sebutan apa pun yang mempromosikan dan mencari keuntungan dari penipuan berkedok investasi dan sebagainya itu bisa diancam pidana. “Pihak yang sebenarnya tahu, tapi tetap masuk dan mencari keuntungan, saya selalu pikirkan bagaimana orang-orang kayak gini juga dipidana. Mereka jelas tahu bisnisnya tidak masuk akal,” tandas Sardjito.

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Ronny Sompie mendukung pernyataan Sardjito. Ia bilang, pemerintah telah melakukan upaya pencegahan dengan sosialisasi kepada masyarakat. “Kalau tetap masuk, mereka itu gambler. Mereka bukan korban, tapi mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri,” ujarnya.

Masalahnya, upaya menjerat orang-orang yang membuat modus penipuan ini tumbuh subur tidak berjalan optimal. Ambil contoh kasus investasi emas bodong Raihan Jewellery. Semula, selain Muhammad Azhari yang merupakan pemilik Raihan, polisi juga menetapkan Theresia Rosiana dan Maxsie Sarjuanda sebagai tersangka. Theresia dan Maxsie merupakan pimpinan cabang Raihan di Surabaya.

Berkas Azhari dilanjutkan ke kejaksaan hingga vonis di Pengadilan Negeri Surabaya. Namun, Theresia dan Maxsie hanya dikenai wajib lapor oleh Polda Jawa Timur.

Sikap penegak hukum yang terkesan tidak adil dan ogah-ogahan ini membuat masyarakat yang merasa menjadi korban acap kali bertindak sendiri menuntut pengembalian uang mereka. Contohnya gampang ditemui. Paling anyar adalah aksi penyitaan mobil Gold Stock Manager PT Gold Bullion Indonesia (GBI) Adi Priantomo Widodo, 25 April 2014 lalu. Aksi ini dilakukan sejumlah nasabah yang tergabung dalam Forum Perjuangan Nasabah lantaran tidak ada kejelasan nasib pengembalian dana mereka.

Tolong penegak hukum jangan cuma berwacana. Basi! (Herry Prasetyo, Tedy Gumilar)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com