"Impor Kakao juga dikenakan itu PPN 10 persen, bea masuk 5 persen, PPH pasal 22-nya 2,5 persen, jadi 17,5 persen. Sementara kalau ekspor 0 persen, justru karena 0 inilah dikhawatirkan pedagang-pedagang biji kakao akan menjualnya ke luar negeri, nah semakin sulitlah industri kakao dalam negeri. Ini kembali lagi seperti sebelum tahun 2007 yang pada waktu itu kakao kita lebih banyak di ekspor ke luar, ini kan jadinya langkah mundur," ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia, Sindra Wijaya di Jakarta, Kamis (21/8/2014).
Sindra menjelaskan, sebenarnya ketika tahun 2007 setelah adanya PP 31, kondisi industri kakao dalam negeri sangatlah baik. Proses hilirisasi kakao lokal pun kata dia menjadi berjalan sesuai dengan harapan pemerintah saat itu.
Sementara dengan adanya keputusan Mahkamah Agung nomor 70/HUM/2013 dimana komoditas pertanian, perkebunan dan kehutanan dikenai PPN 10 persen, maka terjadi kemunduran besar terhadap industri kakao dalam negeri. Kapasitas industrinya kakao tahun 2014 ini sebanyak 500.000 kakao.
Sementara tahun depan diperkirakan akan naik jadi 600.000 kakao. Namun menurut Sindra, dengan pengenaan PPN 10 persen saat ini maka realisasi produksi kakao dirasa berat. "Tapi karena ini maka kita juga jadinya pesimistis industri bisa lebih berkembang," kata Sindra.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.