Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadikan “Perubahan” sebagai Sebuah Pesta Besar

Kompas.com - 22/09/2014, 06:00 WIB

                                 Prof Rhenald Kasali
                                  @Rhenald_Kasali

Dalam setiap proses perubahan, selalu ada dua kelompok yang saling berhadapan, yakni antara tokoh perubahan dengan kelompok yang akan diubah. Seringkali antara pemimpin baru yang datang dari luar melawan pegawai, birokrat atau pejabat-pejabat lama yang kurang melayani keluar.

Dalam konteks nasional, juga terjadi antara yang terpilih dengan yang terkalahkan. Padahal, mereka menjanjikan perubahan, kata sucinya adalah persatuan untuk memberantas kemiskinan dan kebodohan. Bukan berhadap-hadapan sendiri untuk membodohi rakyat, atau menggagalkan pemenang dalam memberantas kemiskinan.

Berhadap-hadapan adalah rumusnya orang yang belum dewasa, yang masih mudah dipanas-panasi, dan hanya menguntungkan musuh publik. Percuma saja berperang menghadapi bangsa sendiri.

Mengasihi yang Kalah

Secara psikologis, “persepsi” kalah atau dikalahkan ternyata berdampak sangat buruk dalam perubahan. Itu sebabnya pada bab terakhir buku cHaNgE! yang saya tulis tahun 2005, saya memperkenalkan konsep “pesta perubahan”. Saya sudah mempraktikkannya dalam berbagai kesempatan saat memimpin transformasi, mungkin Anda bisa mencontohnya.

Mungkin karena adanya di bab akhir buku cHaNgE!, banyak pemimpin yang tidak selesai membacanya, sehingga yang diingat hanya proses dialektis antara change makers dengan”lawan-lawan”-nya yang  diwarnai resistensi.

Lantas dimana pestanya?

Coba belajar dari tokoh-tokoh berikut ini. Emirsyah Satar, sewaktu dihadang para pilot Garuda yang melakukan ancaman-mogok, menutup demo sambil bertukar jaketnya dengan topi yang dipakai pimpinan asosiasi pilot. Senyum lebarnya yang disorot kamera televisi menyejukkan suasana.

Dalam buku From One Dollar to Billion Dollars Company, Anda juga bisa melihat foto, bagaimana CEO ini mengajak bawahan ya berpesta “membersihkan” kabin pesawat pada tengah malam.

Ignatius Jonan juga memimpin “pesta perubahan” di PT KAI dengan menaikkan gaji para “pejuang keluarga” di perusahaan itu dan piket bersama mereka. Fotonya yang terlelap di bangku kereta  saat memantau transportasi mudik mendapat pujian publik.

Joko Widodo, mengajak makan siang dan malam sebanyak 54 kali para pedagang yang menempati taman kota di Solo sebelum diajak pindah. Kepindahan mereka bahkan dikirap dengan pasukan kraton, lokasi barunya pun diiklankan berbulan-bulan lewat media lokal. Baliho dan umbul-umbul bak sebuah bazar nasional menghiasi kepindahan mereka yang puluhan tahun sulit diajak berubah.

Berkali-kali saya juga melakukan hal yang sama dalam skala kecil. Berpesta adat dengan masyarakat di pulau terpencil sebelum memulai integrated farming dengan metode kewirausahaan sosial. Menunya cuma kopi panas, ubi rebus dan sirih-pinang. Di UI saat memimpin program doktoral saya juga mengajak para dosen, staf dan office boy berlibur ke Senggigi di pulau Lombok untuk membuat hati mereka riang dan lebih siap melayani mahasiswa.

Di Pulau Adonara, NTT, saya bertemu dengan Kamilus Tupen, yang mengajak warganya berkebun dengan pendekatan adat: sambil bernyanyi, memakai tenun adat, menanam kebun. Metode hutang tenaga menggantikan hutang bank konvensional.

Ketika masa panen tiba, rakyat sudah punya uang, rumah-rumah mereka sekarang sudah layak huni karena perubahan dibuat bak sebuah pesta besar. Bukan sebuah gerakan perubahan biasa dengan pidato camat atau pejabat. Padahal ini gerakan kewirausahaan sosial untuk menjalankan misi yang bahasa kerennya dikenal sebagai financial inclusion.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com