"Justru sekarang saya mau kritik kebijakan pemerintah. Karena kita melihat sekarang batubara hanya dijadikan sumber devisa negara, sebagai sumber pendapatan saja, bukan sebagai sumber energi. Mindset itu harus diubah," ujar Budi di sela-sela acara Coffee Morning di Gedung ESDM, Jakarta, Jumat (5/12/2014).
Budi menjelaskan, pemerintah memang mendapatkan royalti dari ekspor batu bara ke luar negeri. Namun, jumlah royalti tersebut tidak sebanding dengan jumlah subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah. Karena itu, daripada memasok batu bara ke luar negeri, lebih baik pemerintah menggunakan batu bara untuk kebutuhan nasional.
"Hitungannya gini, penerintah dapat royalti dari batubara hanya Rp 8 triliun. Tapi subsidi listrik berkaitan dengan batubara itu bisa Rp 20 triliun. Ini menuut saya perlu berubah cara berfikirnya. Yang batubara untuk pendapatan pemerintah menjadi sebagai sumber energi," katanya.
Budi menambahkan, Indonesia punya cadangan batu bara sebanyak 9 miliar ton. Jumlah ini bisa memasok kebutuhan hingga 20 tahun mendatang. Namun, pemerintah perlu mengurangi ekspor. Ketika pemerintah menyadari hal ini dan mulai mengubah pandangannya, pemerintah memang masih punya sederetan "pekerjaan rumah" yang harus diselesaikan terkait batu bara.
Budi mengatakan, pemerintah harus kerja keras membangun logistik dan mengubah pola pikir masyarakat. "Pemerintah harus kerja keras bangun logistik. Dua, mengedukasi masyarakat dan bagaimana persepsi masyarakat. Konteksnya bagaimana memasak dengan briket, bagaimana mengubah industri dari migas ke batubara, persepsi. Selama ini dikabarkan batu bara meracuni, padahal tidak. Hongkong, Korea, Jepang, Taiwan. Mereka sangat senang," ujar Budi.
Budi juga mengungkapkan, batu bara juga bisa digunakan untuk industri kecil. "Satu kilogram LPG ekuivalen dengan 3,5 kilogram (kg) batubara. Satu kg minyak tanah setara dengan 3 kg batubara kalori rendah. Industri kecil tidak perlu kalori tinggi. Pakai kalori rendah sudah cukup," katanya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.