Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Genjot Infrastruktur, Perbankan Pusing Cari Cara Sediakan Dana

Kompas.com - 11/12/2014, 10:39 WIB
Palupi Annisa Auliani

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
- Kesiapan infrastruktur keuangan menjadi pertanyaan bagi kalangan perbankan, ketika Pemerintahan Presiden Joko Widodo menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai target kinerja utama.

"Duitnya dari mana? Ibarat membangun rumah, tidak cukup dengan berniat membangun lalu berdoa," kata Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin, di Jakarta, Kamis (11/12/2014).

Budi mengatakan, rencana menggenjot infrastruktur fisik juga mutlak memperhatikan kesiapan infrastruktur keuangan. "Kami perbankan sekarang semakin khawatir, ketika infrastruktur keuangan tidak dibangun," katanya.

Menurut Budi, saat ini bisnis maupun peran perbankan memang sedang berkembang pesat. Pada kurun 2015-2020, kata dia, peran perbankan diperkirakan akan dituntut lebih besar lagi untuk program pembangunan, terutama terkait target di bidang infrastruktur tersebut. "Bantu dari sisi (pembiayaan) korporasi," sebut Budi.

Sebagai gambaran kebutuhan pembiayaan infrastruktur ini, papar Budi, pemenuhan target elektrifikasi seperti yang dipatok pemerintah butuh dana sekitar 70 miliar dollar AS, setara lebih dari Rp 700 triliun. Lalu, untuk membangun setiap kilometer jalan, butuh dana Rp 150 miliar, sehingga target 1.000 kilometer jalan butuh dana Rp 1.500 triliun.  "Belum pelabuhan dan infrastruktur yang lain," ujar dia.

Bila disebut ada dana Rp 4.000 triliun parkir di Singapura, kata Budi, maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana menarik uang itu masuk ke sistem keuangan domestik.

Budi memastikan, penghimpunan dana dengan mengandalkan simpanan masyarakat, tidak memberikan gambaran keekonomian yang menarik. "Growth DPK (dana pihak ketiga) rata-rata 10 persen. Sekarang DPK Rp 3.900 triliun, hanya akan ada tambahan Rp 390 triliun," papar Budi.

Kalau disebut prospek investasi Indonesia masih menarik, Budi menanyakan instrumen investasi apa yang bisa dipakai untuk itu. "Bursa? (Pasar keuangan) kita masih tipis," ujar dia.

Kalaupun bisa, lanjut dia, instrumen tersebut masih lebih banyak yang bersifat jangka pendek. Mendapatkan dana dari utang luar negeri--oleh korporat maupun negara--menurut Budi juga harus ditimbang benar-benar dengan beban yang akan ditanggung dalam jangka panjang.

Untuk pendanaan jangka panjang, menurut Budi idealnya didapat dari peredaran lebih banyak obligasi di pasar keuangan. Faktanya, kata dia, obligasi masih sangat terbatas di pasar keuangan Indonesia. "Berapa banyak korporasi terbitkan itu, misalnya?" sebut dia.

Sederet pertanyaan tersebut, imbuh Budi, muncul bersamaan dengan saat kebijakan likuiditas pun sedang ketat. "Kami masih terus mencari cara untuk menyediakan dana yang dibutuhkan bagi program infrastruktur itu," ujar dia.

Terakhir kali Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) ke level 7,75 persen, menaikkan pula Lending Facility rate, sembari menahan level Fasilitas Simpanan Bank Indonesia  (Fasbi). Dalam beberapa kesempatan, BI membantah kebijakan tersebut merupakan pengetatan likuiditas.

Pelebaran koridor suku bunga acuan dengan menahan Fasbi dan menaikkan LF rate itu, menurut BI dimaksudkan untuk mendorong perputaran uang lebih banyak terjadi di pasar uang antarbank daripada mandek maupun mengandalkan "pinjaman" dari BI.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com